Teori 43

21 8 11
                                    

"Jadi apa yang menindas kita? Itu adalah pikiran kita sendiri, jelas!"

(Epictetus)

🕊

"Tragis banget, mana belum sampe sehari kalian nikah," komentar Elea setelah Fikri menyelesaikan ceritanya.

Lelaki itu baru menyelesaikan salat Asar ketika memutuskan untuk mendatangi rumah sang kakak dan menceritakan perihal keinginan Faza.

Begitulah adanya. Sebab didesak oleh Faza, Fikri terpaksa mengantar sang istri malam itu juga ke rumah Abah. Betapa tidak enak suasana malam itu, baik kakak perempuan dan kakak lelaki Faza menatapnya tajam. Entah apa yang mereka pikirkan  mengenai lelaki yang baru saja menjadi ipar mereka. Untungnya Abah tetap tenang seperti biasa, hanya menepuk-nepuk bahu menantunya, sambil tersenyum menyuruh agar bersabar.

Rumah sederhana yang dibelinya beberapa waktu lalu dari hasil kerja keras dan warisan Ahmad menjadi lebih sepi. Pun hati lelaki itu yang merasa gusar, tidak tenang. Ada keinginan untuk menjemput Faza kembali, tetapi sudut hatinya yang lain berbisik, mungkin saja gadis itu sedang butuh waktu.

"Udah hari kedua, Mbak. Aku harus gimana?"

Elea mengedikkan bahu. "Jangan tanya Mbak. Ini masalah kalian, udah saatnya kamu belajar memutuskan. Diskusi lagi sama Faza. Pahami keinginan dia. Toh, niatnya juga pengen bahagian kamu, kan?"

Fikri mencelos. "Dari awal aku udah bilang kalau aku nggak nuntut apa pun dari dia. Dia setuju, Mbak. Dia setuju untuk ngadopsi anak aja daripada harus melahirkan."

Elea bersandar di sofa, tangannya bersedekap di depan dada, dan atensinya menatap lurus ke arah sang adik.

"Sebenarnya yang kamu mau apa, Fik?"

Fikri tercenung, ia menghela napas panjang. Entahlah, yang ada di pikirannya saat ini adalah masa depan Faza. Lelaki itu ingin membahagiakan istrinya, menjalani hari dan menua bersama, memijak bumi untuk bertemu surga.

"Aku nggak mau kehilangan Faza. Itu aja, Mbak. Karena alasan itu juga aku menikahi dia."

Elea mengangguk-angguk.

"Terus, keinginan Faza apa? Kamu udah tanya?"

Fikri menunduk.

"Sebelum nikah, dia nggak bilang apa-apa, Mbak. Nggak ada omongannya yang secara spesifik menjelaskan keinginannya, tapi malam itu ... dia tiba-tiba bilang pengen punya anak kandung."

Ya, lelaki itu tahu persis keinginan sang istri. Oleh sebab itu, kepalanya tertunduk dan tidak sanggup diangkat. Sepersekian detik kemudian, ada yang luruh dari mata lelaki itu, mengalir melewati pipinya yang lekas diseka. Elea memangkas jarak, mengusap punggung Fikri.

"Jemput Faza, bicarain lagi. Bicarain semua ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, harapan, dan rencana masa depan kalian. Kalau ada yang berubah seiring berjalannya hubungan kalian, dihadapi berdua. Yang Mbak tau, salah satu dari kalian nggak boleh egois. Kamu punya harapan, Faza punya keinginan, dan kalian bertanggung jawab atas pilihan kalian masing-masing."

Fikri masih terpaku ketika Elea memeluknya hangat.

"Karena Mbak juga perempuan, Mbak paham bahwa nggak ada yang salah dari keinginan Faza," bisiknya halus.

🕊

Fikri ragu-ragu mendorong pintu pagar rumah Abah. Namun, seperti kata Elea, ia harus menyelesaikan persoalan mereka secepatnya. Derit besi pagar seperti tidak menginterupsi pemilik rumah. Biasanya Abah menunggu di luar, tetapi sosok itu tidak ada di sana. Fikri melirik arlojinya. Pantas saja, sudah hampir magrib. Abah biasanya menunggu waktu magrib di masjid.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang