Kalau religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, kasar, keras, dan fitnah, maka yang kamu sembah itu Tuhan atau egomu?
(Omar Imran)
🕊
Sepulang dari kegiatan mengajar, Fikri berhenti di sebuah warung untuk membeli tahu campur. Ia berniat mengunjungi Abah sore ini, seperti yang disampaikannya pada Faza tempo hari. Ia mungkin akan menanyakan beberapa hal, ia sedang dalam perjalanan untuk menemukan jawaban.
Menjelang sore, cuaca cukup harmonis. Tidak panas dan tidak pula mendung. Meski jalanan macet seperti biasa, setidaknya wajah pengendara tidak mengeluarkan keringat lebih banyak hari ini.
Sembari menunggu warung yang tampak ramai antreannya, Fikri memandang langit luas. Terhampar tanpa batas, dibentang oleh Sang Mahakuasa demi menunjukkan kebolehannya untuk disembah semua makhluk. Seluas itu pula kebodohan dan ketidaktahuan manusia. Sayang, setinggi itu juga kesombongannya.
Dulu Laura pernah berkata bahwa langit itu diciptakan untuk merangkul perbedaan. Katanya, tangan Tuhan penuh kasih, hingga tidak setengah-setengah menciptakan semesta. Sayang, di antara banyaknya nikmat yang tidak bisa dikira, manusia menciptakan kontroversi seenaknya.
"Mas?"
Fikri mengerjap ketika pundaknya ditepuk oleh seorang remaja, mengisyaratkan dirinya untuk maju sebab antrean di depannya sudah berkurang. Larut dalam pemikiran Laura adalah hal paling menyenangkan menurut Fikri, sampai-sampai ia lupa tempat. Lelaki itu mengalihkan pandangan dari langit setelah mengusap wajah.
Tidak butuh waktu lama, setelah pesanannya dibungkus, Fikri melengang pergi setelah menstater motornya.
Lima belas menit waktu yang dibutuhkan lelaki itu untuk tiba di rumah asri dengan pagar putih, kediaman Abah. Di teras, Abah terlihat membaca koran, lantas setelah menyadari kehadiran Fikri, ia bergerak cepat menyambut dengan membukakan pagar.
Setelah menyapa, Abah menerima bungkusan plastik dari Fikri dan izin sebentar untuk menyajikannya. Lelaki itu mengangguk, mempersilakan. Selagi menunggu, ia mempertimbangkan kembali apakah keputusannya untuk bertanya sudah tepat atau belum. Apakah Abah orang yang bisa diajak berbagi kisahnya atau belum. Apakah Abah bisa mendengarkan tanpa mencela atau tidak. Fikri menautkan jemarinya.
Lima menit kemudian, Abah membawa nampan berisi dua piring tahu campur dan dua gelas teh hangat.
"Kok disajiin untuk saya, Bah?"
"Lha, kamu belinya dua bungkus," balas Abah sambil mengernyit.
"Satunya lagi untuk Mafaza, atau untuk orang yang ada di rumah Abah. Saya udah makan tadi," jelas Fikri selagi Abah menyajikannya di meja kecil di teras itu. Abah malah terkekeh sebelum duduk.
"Faza ndak di rumah, mbaknya juga ngekos, sebulan ini ndak pulang-pulang."
Oh, begitu.
"Mafaza ke mana, Bah? Jam segini udah pulang ngajar, kan?"
Abah tergelak. "Kalian ini lucu, lho. Kamu ngunjungi Abah, Faza ngunjungi Ahmad. Kayak anak hilang aja," celetuk Abah di sela tawanya. "Lagi seneng-senengnya lihatin Ezra juga. Faza suka anak kecil memang. Dia kesepian di rumah kayaknya."
Ah, begitu. Fikri mengangguk saja. Sekarang ia tidak lagi mempermasalahkan keberadaan Faza. Toh, dengan adanya gadis itu yang rutin mengunjungi Elea dan Ahmad, bisa sedikit menggantikan perannya untuk bertemu sang ayah. Biarlah, Ahmad juga tampak menikmati waktu bersama Faza. Bahkan gadis itu juga terlihat begitu akrab dengan Anis, hal yang tidak dapat Fikri lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...