Teori 30

33 8 8
                                    

Siapa pun kita, muslim, Yahudi, Kristen, jika belum menyelami rahasia hati, yang tampak hanyalah perbedaan.

(Jalaludin Rumi)

🕊

Sudah dua minggu Ahmad pulang larut. Lelaki itu kembali dengan wajah kusut, tidak jarang otot-otot wajahnya menegang dan membuat Elea resah. Anak perempuan Ahmad itu terus mendesak, bertanya mengapa sang ayah pulang terlambat. Bahkan, terkadang tidak pulang sama sekali tanpa memberi kabar. Namun, Ahmad terus menghindar ketika ditanyai. Lelah dan ingin istirahat, alasannya.

Selama dua minggu pula tidur Fikri di pondok tidak tenang. Pikirannya berlari-lari, memikirkan tempat yang paling mungkin di mana ibunya berada. Tidak mungkin pulang ke Manado, sebab ia pernah menghubungi bibinya, bertanya perihal Laura, tetapi tidak ada. Sesekali saat diberi jadwal menelepon, ia bertanya pada Elea, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan.

Keesokan harinya, remaja laki-laki yang tengah kalut itu menyempatkan diri untuk bincang-bincang bersama seorang ustad di sana. Ia meminta waktu untuk hanya berbicara berdua. Ada hal yang harus dipastikan.

"Agama apa yang paling benar di bumi ini?" tanyanya pada seorang yang dipanggil ustad di sana.

"Islam, tentu saja."

"Agama yang lain salah semua?"

Lelaki berusia kisaran 40an tahun itu mengangguk. "Bukan salah, lebih tepatnya, tapi udah nggak berlaku lagi. Terhapus, digantikan agama yang dibawa oleh Kanjeng Nabi."

"Lalu, penganut agama apa yang paling benar?"

Pertanyaan Fikri sontak membuat lawan bicaranya mengernyit. Remaja itu memandang lurus, tepat di manik pria yang duduk di hadapannya. Datar, menghujam, dingin. Pria tersebut berdeham sebentar.

"Ya, agama yang benar pasti punya pengikut yang benar."

"Dan yang benar punya hak menyalahkan yang lainnya?"

"Ya, iya. Kita nggak boleh mencampuradukkan yang haq dan yang batil. Salah tetap salah, benar tetap benar. Kita umat Islam harus memerangi kebatilan."

Fikri menarik senyum miring. Ia mendapat jawaban, tetapi entah mengapa hatinya tidak puas. Ia seperti dipaksa untuk menerima dogma. Ia tidak suka dengan kata perang, apa pun konteksnya. Apalagi saat ini, ia mengaitkan pertanyaannya dengan apa yang terjadi di keluarga intinya. Ia tidak ingin memerangi Laura.

"Kang Fikri, ada telepon!"

Fikri yang tengah sibuk dengan pikirannya tersentak kala seorang santri bersarung memanggilnya. Ia segera menyusul setelah pamit pada gurunya.

"Fik, pulang, ya? Mama sakit, tadi dibawa ke rumah sakit. Ada ongkos? Papa kayaknya nggak bisa jemput. Oma bahkan nggak ngebolehin Mbak ngabarin kamu. Mbak harus di sini, nggak bisa ke mana-mana. Cepat, Fik, ya?"

Fikri diam saja, mencermati tiap kata yang terlontar dari sambungan telepon kakaknya. Laura sakit setelah ditemukan? Belum sempat ia bertanya, sambungan diputus sepihak oleh Elea setelah menyebut nama rumah sakit tempat Laura dirawat. 

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menuruti perkataan Elea. Ia meminta izin dan diberi waktu setengah hari untuk menuntaskan urusannya. Fikri hendak protes sebab hanya diberi sedikit waktu, tetapi jika protes, maka waktunya akan kembali terkikis. Maka dari itu, ia langsung ambil langkah seribu, bahkan tanpa membawa apa pun, kecuali dompet.

Tiga puluh menit waktu yang disita olehnya untuk tiba di depan kamar rawat yang disebutkan Elea. Kakaknya yang sedang menunggu di depan pintu, langsung mengisyaratkan Fikri untuk mendekat. Wajahnya panik, dari genggaman tangannya yang dingin, Fikri tahu ada yang tidak berjalan dengan baik saat ini.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang