Teori 37

16 9 9
                                    

"Jangan takut akan masa depan, tiada yang abadi untuk selamanya. Jika sibuk dengan masa lalu atau masa depan, kau akan kehilangan hari ini."

(Jalaluddin Rumi)

🕊

Sepanjang jalan, Fikri hanya melamun. Untaian kalimat Laura mengisi tiap ruang di kepalanya hingga penuh. Hatinya merasa lebih hampa, tidak mengerti apa sebabnya. Kata-kata sang ibu memundurkan egonya, sehingga ruhnya terasa kosong sebab pertanyaan retoris dan isu kepercayaannya menguap begitu saja. Ia seperti orang linglung.

Seolah mengerti, Elea membiarkan sang adik mencari jawaban di antara keheningan. Deru kendaraan, asap polusi, dan teriknya matahari tidak menginterupsi atensi Fikri yang masih menatap jalanan dengan pandangan kosong. Perjalanan menyita banyak waktu sebab macet, seperti biasa.

Tepat ketika taksi berhenti di lampu merah, azan asar berkumandang syahdu. Deru klakson yang tidak sabaran pun seakan hilang ditelan panggilan Tuhan. Kini, jantung lelaki tanpa arah itu berdetak hebat, seperti diketuk tangan-tangan halus, meminta izin untuk masuk dan menyeret nyawanya agar bersimpuh pada pemiliknya.

Tidak dapat menahan gejolak mahadahsyat itu, ia menangis.

Entahlah, barang kali air mata itu turun sebab kerinduan akan kehadiran sang bunda. Mungkin juga karena penyesalannya yang lari dan berpaling dari kebenaran. Ah, bukan tidak mungkin juga sebab ia rindu. Rindu untuk menjawab panggilan Sang Khalik. Fikri tidak tahu. Ia hanya menikmati alunan azan hingga selesai, membiarkan seruan itu mengisi rongga batinnya.

Terima isyarat Tuhan, terima rintihan hatimu.

Fikri mendongak, mencegah air matanya agar tidak menetas lebih banyak. Ah, mungkin selama ini, hatinya pun lelah merintih, tetapi tidak kunjung diberi perhatian. Hingga lama-lama, segumpal darah itu mengeluarkan segala isinya hingga kosong, berbalik menyiksa sang empu sebab telah lama diabaikan.

"Yuk."

Tahu-tahu, Elea sudah menggenggam tangannya. Sang kakak tidak lupa memberi senyuman teduh. Senyuman yang selama ini selalu membuat adiknya bertahan. Begitu menawan sebab ditempah oleh kesabaran.

Fikri mengerjap, menyeka pipinya yang menjejak sisa air mata. Ia melirik sekeliling dan akhirnya menyadari bahwa mereka telah sampai di rumah sakit. Setelah menatap Elea beberapa detik, ia memutuskan untuk turun, mengikuti langkah wanita itu. Hingga sampailah mereka di depan ruang ICU.

Dari jendela transparan, Fikri tak lepas-lepas memandang rupa Ahmad. Untuk saat ini, tidak ada seorang pun di sana, tetapi Fikri masoh ragu untuk melangkah masuk. Elea sudah pulang setelah mengantarkan sang adik hingga di depan ICU. Wanita itu bilang ingin beberes dan mengurus Ezra lantas menyerahkan keputusan pada Fikri. Mau masuk mengunjungi Ahmad atau tidak, terserah.

Lelaki itu masih termangu, kata-kata Laura berhasil mengusik pikirannya.

Semua ini salah kami. Bukan kalian, bukan Oma, bukan Tuhan, bukan syariat.

Maafkan, terima segalanya.

Terima rintihan hatimu.

Begitu kata Laura dan saat ini, hatinya sedang merintih, meminta agar dipertemukan dengan seseorang yang tengah terbaring tanpa daya di atas brankar. Fikri mengayunkan langkah, membuka pintu dan memakai pakaian medis setelah mencuci tangan lalu mendekat ke raga sang ayah.

Meski belum lagi membuka mata, napas Ahmad seperti teratur berembus walau terdengar sangat samar. Dadanya naik turun dalam beberapa detik sekali, lumayan lambat. Dari ujung kepala hingga ujung kaki yang ditutupi selimut tidak luput dari pandangannya.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang