---Silakan dibaca di waktu luang---
"Perempuan itu sangat mencintainya, sehingga ia menyembunyikan nama sang pria dalam kata-kata, yang maknanya hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
"Mau jadi makmum saya? Fik, sumpah, norak!"
Fikri bersungut-sungut ketika Elea lagi-lagi meledek aksinya dua hari yang lalu. Sang kakak tampak seperti akan sakit jika tidak mengolok-olok adik lelakinya yang kini tengah memerah kedua telinganya. Elea masih tertawa sambil memukul-mukul bahu Fikri, tidak membiarkan sang adik duduk tenang.
"Ih, Mbak tuh nggak kepikiran kamu bisa ngomong kayak gitu, mana di halaman rumah, di depan Abah lagi. Urat malu kamu ketinggalan di mana, sih?"
Fikri mencelos. Jujur, ia juga tidak mengerti mengapa kalimat itu keluar spontan dari mulutnya di waktu yang—mungkin—tidak tepat. Masalahnya, setelah mengatakan hal—yang menurutnya—memalukan tersebut, Faza hanya mematung dan tanpa memberi respons apa pun, langsung naik ke boncengan Abah dan pergi. Ingin rasanya Fikri mengulang waktu dan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Masalahnya, sejak dua hari ini, Faza tidak memberi kabar dan menolak panggilan dari Elea. Ketika menjemput Chesa pun, gadis kecil itu mengatakan bahwa Ibu Faza pamit pulang duluan, tidak seperti biasa yang bahkan rela menungguinya sampai dijemput. Lelaki 28 tahun itu merasa bersalah. Padahal bisa saja mendatangi Abah, tetapi ia malah tidak berani, teringat tingkah konyolnya.
"Faza nolak aku, ya, Mbak?"
Elea menghentikan tawanya dan meraih segelas air untuk diteguk. "Memangnya dia bilang kayak gitu?"
"Enggak, sih."
"Nah itu. Dia kan nggak bilang apa-apa."
"Itu dia masalahnya. Dia nggak bilang apa-apa dan terus dia menghilang. Itu kode biar aku mundur atau gimana, ya, Mbak?"
Elea menuntaskan tegukan terakhir, meletakkan gelas itu kembali di atas meja, dan mendaratkan atensinya di wajah gusar sang adik. Ditatap lamat-lamat rahang tegas warisan Ahmad yang ditumbuhi rambut-rambut tipis. Kemudian netranya singgah pada ujung rambut Fikri yang mulai jatuh menyentuh bahu. Bola mata sang adik pun tidak menetap pada satu posisi, benar-benar gelisah.
Beberapa detik kemudian Elea tersenyum kala menyadari bahwa Fikri sudah mulai berani mengambil keputusan entah sejak kapan.
"Kamu serius dengan Faza?"
Fikri melirik Elea dan terdiam sesaat. "Aku bingung, Mbak."
Jawaban Fikri selalu tidak dapat ditebak dan Elea sudah terbiasa dengan hal itu.
"Dulu waktu dengan Afra, aku nggak pernah bisa melawan kehendak hatiku sendiri. Dulu waktu dengan Afra, aku nggak pernah takut kalau ada orang lain yang datang untuk ambil dia. Waktu dengan Afra dulu, aku berdiskusi banyak hal, tapi nggak ada yang berubah. Semuanya stuck di satu tempat."
Fikri mengalihkan padangannya ke jendela dapur.
"Pas di dekat Faza, semua yang terjadi bertolak belakang. Aku selalu denial tentang keberadaan dia, peran-peran dia, tapi entah kenapa aku ngerasa nyaman. Di perjalanan pulang, aku mikir, Mbak. Kalau nggak ketemu Faza, aku nggak akan ketemu Abah. Kalau nggak ketemu Abah, aku nggak nemu jawaban. Kalau nggak ketemu Faza, aku nggak akan tau kebenaran tentang Mama. Aku akan tetap jadi orang bodoh sampai mati.
"Dia pernah nyelamatin Mbak pas pendarahan. Dia juga pernah nyelamatin Afra di jembatan. Dia juga yang selalu temenin Chesa main sambil nunggu dijemput. Pas Papa masih ada, dia juga yang bantu-bantu Tante Anis, padahal posisinya dia bukan siapa-siapa di keluarga kita, kan, Mbak? Dia mau bantu desain dan promosiin kafe aku, sampai bisa stabil setelah renovasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...