Akulah pribadi dari si pencemburu. Akulah nyeri dari si sakit. Akulah awan dan hujan. Aku telah terkena hujan di tengah padang rumput.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Karena Chesa ingin pulang bersama Faza, gadis itu terpaksa mengantarkan sampai rumah. Udara kota Surabaya begitu terik, tak salah Chesa memilih naik mobil. Entah mengapa ia begitu akrab dengan gurunya.Lima belas menit, setelah berkutat dengan jalanan macet—karena kecelakaan lalu lintas—mereka tiba di depan rumah Elea. Wanita hamil itu ternyata sedang menunggu di depan rumah sambil mengelus perut buncitnya. Begitu melihat mobil yang ditumpangi Faza, ia cepat-cepat membukakan pagar, padahal saat tiba lima menit lebih awal, Fikri disuruh turun dari motor untuk membuka sendiri kunci pagar.
Lelaki itu sibuk menanggapi email, baik dari dekan yang memberinya jam baru untuk mengajar di satu kelas menggantikan dosen lain maupun dari mahasiswa yang mengumpulkan tugas. Sibuk sendiri, sampai tidak sadar bahwa Elea, Faza, Chesa, dan seorang lelaki sudah memasuki ruang tamu.
"Heh, geser dikit, tamunya mau duduk," pinta Elea sambil menepuk pelan bahu Fikri. Laki-laki itu terperanjat. Atensinya langsung bertemu netra Faza.
"Es dawetnya ditaruh di gelas buat mereka sama Mbak. Tadi kamu belinya berapa bungkus?"
"Satu," jawab Fikri singkat, seperti biasa.
"Kok cuma satu?"
"Kan Mbak mintanya cuma satu."
"Mbok ya kalau beli tuh jangan cuma satu. Nggak cukup. Untung Faza belinya dua. Nih, cepet. Di kulkas lagi nggak ada minuman lain."
Fikri bangkit dari sofa, mengambil plastik dari tangan Faza dan berjalan gontai menuju dapur. Dilakukan apa yang diperintahkan oleh Elea. Lima menit kemudian, setelah menemukan talam di antara rak piring, Fikri keluar menuju ruang tamu dan duduk di sebelah kakak perempuannya.
"Eh, nggak usah, Mbak, nggak usah repot-repot. Anu, kami mau ke butik buat fitting baju, Mbak," seloroh Faza.
"Hah?"
"Loh, kok kamu yang kaget? Padahal tadi Mbak mau kaget duluan, tau," celetuk Elea sambil terkekeh.
Fikri memicingkan mata, memindai lelaki yang duduk di sebelah Faza dari atas hingga bawah. Lelaki itu tidak mengerti mengapa ia melakukan hal demikian. Apa untungnya? Lagi pula, wajar saja jika Faza akan menikah, terlepas dari waktu yang belum lama membuatnya patah dikarenakan seseorang bernama Ghazi.
Fikri menyibukkan diri dengan ponselnya, tak menanggapi ocehan Elea. Meski begitu, pikirannya tak fokus pada layar gawai. Secepat itukah Faza menemukan pengganti setelah dipatahkan oleh seseorang? Entah dirinya iri sebab ingin mendapat pengganti segera mungkin atau cemburu entah karena alasan apa, Fikri tak mengerti.
Ah, ia juga tidak mengerti mengapa malah memikirkan hal tersebut. Lantas, mengapa jika Faza sudah menemukan pengganti dan akan menikah di waktu dekat? Sungguh, ia tidak harus peduli dengan urusan personal gadis itu.
"Echa mandi, makan, terus tidur siang, ya."
Chesa bergeming sambil menyeruput es dawet hingga tandas. Ia sesekali memainkan adonan hijau dari tepung tapioka yang tersisa sebab tak terhirup oleh sedotan. Jika sedang fokus pada sesuatu, anak itu akan asyik sendiri dengan dunianya. Elea menyentuh lembut punggung tangan putrinya hingga akhirnya perhatian Chesa teralihkan.
"Mandi, ya, Sayang. Habis itu makan, tadi Mama bikinin brokoli kesukaanmu. Habis itu langsung tidur siang," ulangnya sekali lagi.
"Nanti aja, tunggu Ibu Faza pulang," balas Chesa. Ia kemudian sibuk menghirup dawet dengan sedotan. Sekali disedot, tak masuk mulut, keluar lagi. Tindakan itu diulangi entah berapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
Fiksi Umum(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...