Dalam cinta terjadi paradoks. Dua makhluk menjadi satu, tetapi tetap saja dua.
(Erich Fromm)
🕊
Fikri memacu motor, menyalip beberapa pengguna jalan. Di otaknya hanya ada banyak pertanyaan, umpatan pemotor tidak dihiraukan. Kurang lebih tujuh menit, laki-laki itu sudah sampai di depan rumah Faza. Tanpa diminta, gadis yang memang tengah menunggunya di depan pintu langsung beranjak untuk membuka pagar.
"Mas Fikri bisa bawa mobil manual?"
"Bisa. Afra di mana?"
"Masih di kamar. Bantuin angkat."
Fikri mengangguk, mengikuti langkah Faza yang tergesa. Sampai di kamar bernuansa biru, netranya terbelalak melihat Afra yang tengah meringkuk di atas sajadah. Wajahnya masih terbungkus mukena, di keningnya bulir-bulir keringat sebesar biji jagung menetes perlahan.
Lelaki itu menekuk kaki, menyelipkan lengannya di balik punggung dan lutut Afra, kemudian berjalan cepat. Faza mengunci pintu dan meletakkan anak kunci di salah satu pot bunga kemudian membukakan pintu mobil dan duduk di jok kedua, memangku Afra. Secepat kilat, Fikri mengeluarkan mobil dari pekarangan. Mereka bahkan lupa menutup pagar.
"Kenapa dia bisa ada di rumahmu? Kenapa dia bisa pingsan? Sejak kapan dia kelihatan makin kurus? Dia nggak makan? Udah berapa lama dia di rumahmu?" Fikri bahkan tidak menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan itu meluncur cepat, secepat ia melajukan mobil saat ini.
Faza kelimpungan sendiri. Pasalnya, Afra meski tidak sadar, ia merintih samar. Jemarinya seperti menggapai-gapai, dingin. Gadis yang memangkunya sampai tidak tega melepaskan genggaman tangannya dari Afra. Bahkan untuk mengelap keringat yang masih mengalir, Faza tak sungkan menggunakan ujung jilbabnya.
Fikri melajukan mobil seperti pembalap di sirkuit, begitu kencang. Tidak ada polisi, berarti tidak ada yang memaksanya berkendara seperti siput menuju rumah sakit. Di luar, entah sudah berapa pengendara mengumpat karenanya. Hampir menyerempet ibu-ibu, nyaris menabrak penjual keliling, tak lagi dipedulikan.
Lebih dari itu, kini Faza mengeratkan tangannya yang juga ikut dingin pada jemari Afra. Gadis itu ikut-ikutan pucat, bulir bening dari matanya mengalir. Ia bersandar, punggungnya tegap, wajahnya tegang. Gadis itu tengah ketakutan.
"Hei, pertanyaan saya belum dijawab."
Faza bergeming. Hatinya terus berzikir, menghalau bayangan masa lalu yang berputar di kepala. Ia senantiasa mengafirmasi diri sendiri, tetapi tetap tak bisa.
Lelaki yang duduk di balik kemudi melirik spion. Ia terperanjat melihat pipi Faza sudah basah.
"Kamu kenapa lagi?"
Faza berusaha meloloskan napas yang sejak tadi tercekat. "M–Mas, tolong, pe–pelanin sedikit. Tolong, a–aku takut," pinta gadis itu.
Fikri mengernyit, tetapi tanggap untuk memelankan laju kendaraan. Entah apa pasalnya, gadis yang duduk di belakangnya tiba-tiba menangis, membuatnya bingung. Khawatir terhadap Afra, makanya ia tak segan memacu kecepatan di atas 60km/jam di jalan raya. Namun, air mata Faza serta wajahnya yang memucat membuatnya harus menurunkan ego.
Tidak ada pertanyaan dan pembicaraan lanjutan sampai mereka tiba di rumah sakit. Afra dibawa ke UGD, sedangkan Fikri dan Faza harus menunggu. Lelaki itu mengambil ponsel, menghubungi Zidan dan memberi tahu lokasi mereka.
Suami Afra terdengar panik, tetapi tetap berhasil dikontrol. Tanpa bertanya apa pun, ia menutup sambungan setelah berkata akan berangkat sekarang juga dan jangan memberi tahu ayah Afra tentang keadaan putrinya untuk sementara waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...