Pembalasan tercantik untuk dia yang mengkhianati cintamu adalah menjadi pribadi lebih baik yang diinginkan orang-orang.
(Mario Teguh)
🕊
Fikri memarkirkan motor di depan kafe miliknya. Dengan langkah gontai, memasuki ruangan berukuran 20x20 meter. Aroma berbagai macam kopi terhidu olehnya. Waktu magrib sebentar lagi, pelanggan mulai berkurang.
"Gimana perkembangan kafe sebulan ini, Kamil?" tanya Fikri pada seorang yang berdiri di balik mesin pembuat kopi. Lelaki dengan senyum manis itu tertawa pelan.
"Omzetnya naik, Mas, alhamdulillah. Kenapa nanya lagi? Padahal dua hari lalu juga nanya," ujar Kamil sebelum mematikan mesin. Ia mengelap tangan dengan tisu basah.
"Oh, iya. Lupa." Fikri mendengkus.
Sejak pulang dari rumah Afra beberapa waktu lalu, pikirannya sering buyar. Bahkan ia hampir tertabrak truk di jalan. Peristiwa hari ini memang menguras habis energinya. Berkali-kali ia mencoba berpikir bahwa kejadian yang dialami hanyalah mimpi, tetapi saat klakson sahut-sahutan mengagetkannya di jalan, ia tahu bahwa angannya tidak benar. Tidak ada mimpi di sore hari.
"Mas Fikri lagi ada masalah?"
"Bikinin Arabica satu, nggak pakai gula."
Tanpa menjawab, Fikri berlalu meninggalkan Kamil dengan pertanyaan yang menggantung. Fikri tidak ingin mengulang peristiwa dengan menceritakan ulang. Rasa sakitnya akan sama saja. Kamil tak ambil pusing. Lelaki tambun yang ramah pada semua orang itu melanjutkan pekerjaannya.
Lelaki jangkung dengan kemeja yang sudah dibuka kancing depan dan menampakkan kaos putih di dalamnya itu memilih duduk di pojokan. Netranya menyapu kursi-kursi kosong. Beberapa pelanggan lekas pulang ketika azan magrib berkumandang. Sisanya masih betah berlama-lama.
"Kopinya, Mas. Aku izin keluar sebentar, boleh, nggak? Belum ikamat, sih, tapi kayaknya masih keburu jemaah," pinta Kamil setelah menyajikan kopi Fikri.
Fikri menoleh ke arah meja kasir. Ada Ronald di sana. Di meja barista pun sudah ada yang menggantikan Kamil. Fikri akhirnya mengangguk, mengizinkan pegawainya untuk pergi sekejap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba.
Seruan ikamat terdengar di telinganya. Fikri memejamkan mata, menikmati alunan yang selalu terdengar indah. Hatinya terpanggil, tetapi tak pernah dibuka. Ia berhenti percaya sebab yakin bahwa ia tak akan lagi mengabdi pada sesuatu yang tak menawarkan cinta.
Fikri merogoh saku, mengambil ponsel dari dalamnya. Dilihat kolom pesan Afra. Gadis itu tidak mengirimkan apa-apa. Foto profilnya juga telah hilang. Sesaat Fikri hendak mengirimkan pesan, memastikan dirinya benar-benar diblokir atau tidak. Namun, niat tersebut diurungkan. Ia menyandarkan punggung, menutup mata demi menghilangkan penat.
Apakah Afra masih menangis? Ah, mengapa menanyakan Afra saat dirinya juga butuh diperhatikan?
Apakah Afra marah? Kecewa? Tentu saja. Dari tatapannya yang berubah nanar ketika ditinggal Fikri di depan rumah, lelaki itu sudah dapat menyimpulkan.
Ia juga sakit. Rasanya bercampur aduk. Bukan main rasanya tertusuk oleh keputusan sendiri. Namun, begitulah yang ia yakini. Afra memang lebih berhak dibimbing oleh mereka yang pintar mengarahkan. Yang bisa membaca peta dan mengendalikan kemudi kapal. Tidak seperti dirinya yang bahkan membutakan diri dan memilih karam.
Apakah pilihannya sudah benar? Tetap pada apa yang diyakini lantas merelakan Afra menikah dengan orang lain. Dadanya terasa seperti diimpit batu besar, sesak. Namun, lelaki itu selalu berhasil menyembunyikan tangis entah bagaimanapun caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...