Teori 07

20 8 8
                                    

Hanya mereka yang terpilih yang bisa mendapatkan kepercayaan.

(Anonim)

🕊

Siang yang tadinya terik, berubah menjadi sejuk. Awan-awan gelap mulai menggenapkan pasukan, hampir siap menghujani bumi sewaktu-waktu. Belakangan, cuaca memang sering berubah-ubah sebab telah tiba masanya musim pancaroba.

Fikri fokus menyetir. Keningnya kerkedut, tampak seperti seseorang yang berpikir atau menahan emosi. Di jok belakang, Faza sibuk menenangkan diri. Bagaimana tidak? Lelaki jangkung itu membawa mobil dengan kecepatan yang bisa membuat jantungnya jatuh tertinggal di jalan raya.

"Ini terus ke mana lagi?"

"Kiri," jawab Faza cepat. Dipegangnya seatbelt kuat-kuat. Benar saja, belokannya pun tajam. Faza sampai curiga kalau-kalau Fikri menganggap jalan raya sebagai area sirkuit.

Rumah sederhana dengan cat tembok krem perpaduan cokelat itu sudah tampak. Faza berseru pada Fikri untuk berhenti.

"Mafaza," panggil Fikri ketika hadis itu hendak melepas seatbelt.

"Ya?"

"Boleh minta tolong?"

"Boleh aja, sih, kalau akunya bisa. Mau minta tolong apa?"

Fikri menyandarkan kepala. Sejak tadi, lehernya tegang sebab menyetir sambil berpikir. Sepanjang jalan, ia sibuk berdebat dengan diri sendiri. Mencari nama di kepala, siapa yang harus diajak ke pernikahan Afra.

Sesekali lewat spion depan, mata elang lelaki itu melihat Faza. Sang gadis juga tampak duduk tegap, wajahnya waswas sebab Fikri menyetir terlalu cepat. Apakah bisa mengajak Faza yang notabene adalah orang baru dikenal?

"Datanglah sama saya ke acara pernikahan Afra," pinta Fikri dengan suara rendah. Ia antara yakin dan tidak mengucapkan hal itu.

Alis Faza menyatu lantas melengos. "Nyari penyakit emang Mas Fikri tuh," celetuknya.

"Hah?"

Faza menarik napas panjang. "Emang Mas Fikri siap lihat Afra bersanding sama laki-laki lain? Dan menurutku, Mbak Afra juga nggak siap lihat Mas Fikri datang sama perempuan lain. Dua-duanya sama-sama nyari penyakit. Mas Fikri dan Mbak Afra," jelas Faza.

Dari ucapan Afra di rumah Elea tadi, Faza bukannya tidak memperhatikan setiap kata-kata gadis itu. Ketika Afra berujar dengan getaran samar di suaranya atau saat ia menatap kosong kepada Fikri yang berpaling, gadis itu bisa menilai. Dalam diam, Faza melihat semuanya.

Gadis yang memakai seragam guru TK itu juga menganalisis respons Fikri. Tentu saja, ditinggal menikah sangat menyakitkan, tetapi gadis itu baru sampai pada kesimpulan bahwa Fikri yang meminta Afra untuk meninggalkannya. Mereka berdua, sama-sama tersiksa. Wajah dengan rahang tegas dan hidung mancung itu tampak gusar sepanjang waktu.

"Dia yang minta saya untuk datang sama seseorang."

Faza mencebik. Lelaki yang duduk di balik kemudi itu tidak peka atau tidak berperasaan?

"Tau, nggak? Cewek itu lebih suka bohong daripada cowok."

"Saya nggak lagi bicarain itu---"

"Bedanya, cewek pinter bohong untuk menutupi rasa sedihnya, cowok sebaliknya. Kayak Mbak Afra. Dia nggak bener-bener minta Mas pergi sama perempuan lain. Dia cuma pengen Mas nyesel karena udah ikhlasin dia sama orang lain."

"Jangan sok tau. Afra nggak mungkin berpikiran begitu," sembur Fikri. Tidak mungkin Afra memiliki niat seperti itu, bukan? Tatapan lelaki jangkung itu berserobok dengan atensi Faza lewat spion depan.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang