Bersatu dengan orang lain adalah kebutuhan terdalam seorang manusia.
(Erich Fromm)
🕊
Elea menitipkan sekotak masakan pada Fikri untuk diberikan kepada Ahmad. Katanya, ayah mereka itu merindukan masakan Laura dan Elealah yang mampu menyamai rasa dari hidangan ibunya. Lelaki itu sempat menolak mengingat ia harus bertemu dengan Ahmad. Namun, kakak perempuannya mengeluh sakit pinggang, sedangkan Harsa sedang bekerja.
Ia mampir sejenak ke kafe untuk memeriksa keadaan. Benar saja, entah sejak kapan, sekitar sepuluh meter dari tempatnya, berdiri sebuah kafe yang tidak kalah indah. Anak muda berseliweran di sana, baik yang baru pulang sekolah dengan seragam SMA maupun mahasiswa yang menenteng tas laptop. Hanya beberapa pelanggan setia yang masih mengunjungi tempat beraroma kopi miliknya.
Setelah berdiskusi sejenak dengan Kamil walau belum menemukan ide baru, ia pamit. Lelaki itu memutar kunci motor, bersiap untuk tancap gas. Ia merasa harus bersegera sebelum Tante Anis datang. Fikri sangat mengindari pertemuan dengan ibu tirinya tersebut.
Disusuri jalanan yang lumayan macet. Ini adalah jam anak-anak pulang sekolah. Seperti biasa, matahari tampaknya begitu menyenangi kota Surabaya, membuat kebanyakan manusia di sana mengeluhkan betapa menyengatnya surya di atas kepala mereka. Hingga tiga puluh menit menempuh perjalanan, lelaki itu tiba di rumah sakit.
Langkahnya kian berat saat jarak makin terpangkas pendek. Ia menghela napas panjang ketika akan membuka pintu kamar rawat sambil mengafirmasi diri sendiri. Fikri hanya akan mampir sebentar untuk memberikan titipan Elea. Perlahan, pintu terbuka, atensinya langsung berserobok dengan netra sang ayah. Dialihkan sedikit, matanya malah bertemu tatapan Anisa. Yusuf juga tengah duduk di sana sambil membaca buku.
Tanpa bicara, lelaki itu meletakkan paper bag di atas nakas. Sebelum kembali memegang gagang pintu dan berniat keluar, lengannya dicekal Tante Anis.
"Temenin Papa, ya. Tante tunggu di luar sama Yusuf."
"Saya buru-buru."
Tante Anis perlahan mengendurkan cekalannya pada pergelangan anak sambungnya tersebut. Wanita itu berusaha menarik ujung bibirnya untuk membentuk simpul senyum. Selalu saja dirinya tertolak.
"Ini hari Minggu, Nak. Kampus tempatmu mengajar nggak libur?" Kini Ahmad ikut berbicara.
"Mau urus kafe, bukan ke kampus."
Ahmad mengangguk-angguk. Netranya yang tadi sempat bersinar, kini kembali sendu meski Fikri tahu ayahnya itu tetap mempertahankan senyuman di wajahnya. Yusuf bangkit dari posisinya.
"Mas, Bunda capek dari dua hari yang lalu jagain Papa sampai nggak pulang. Semalam Bunda bahkan sampe demam. Aku izin bawa pulang Bunda dulu, ya. Mas bisa temanin Papa sebentar aja? Nanti Mas Ghibran datang, kok, udah aku telepon."
"Nak—"
"Bunda istirahat, dong! Nanti kalau sakit, yang rawat Papa siapa? Yang susah siapa?" potong Yusuf cepat.
Fikri mematung di posisinya, memperhatikan gelagat adik sambungnya yang sebentar lagi mulai memasuki usia remaja. Lelaki 27 tahun itu dapat menangkap ekspresi adiknya selintas, menatap dirinya keras, walau kemudian Yusuf menghela napas beberapa kali, tampak berusaha mengubah mimik wajahnya.
Fikri menyadari bahwa mungkin ia sedang dibenci, tetapi ia memutuskan untuk tidak peduli. Anak-anak tidak menyaksikan peristiwa sebanyak yang dilihat olehnya.
"Bunda masih kuat, Nak. Nunggu sampai Ghibran datang masih bisa, kok," balas Anis canggung.
"Ya udah, deh, aku pulang sendirian aja. Kalau sakit, jangan minta temani sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
Fiksi Umum(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...