Sumbatlah telinga nafsumu yang bagai kapas menutupi kesadaranmu dan membuat tuli telingamu.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Setelah menghabiskan tiga puluh menit di jalan, mereka akhirnya sampai di tujuan. Tenda-tenda berdiri kokoh, didominasi warna abu-abu dan dongker, seirama dengan kertas undangan yang dibagikan Afra dua minggu lalu. Acara resepsi diadakan di sebuah pondok pesantren, tempat ayahnya Zidan mengelola santri.Beragam nyanyian dalam bahasa Arab maupun Amiyah disenandungkan. Dari luar, sahut-sahutan nada yang mengalun indah itu sudah terdengar jelas. Chesa celingak-celinguk, menatap situasi dari luar. Gadis kecil itu sangat antusias. Sesekali ia berjinjit riang, nyaris saja kepalanya menabrak atap mobil.
"Duh, Mbak nggak usah masuk aja, kali, ya?" Faza mengalihkan perhatiannya pada Elea. Wajah perempuan itu tampak gusar.
"Kenapa, Mbak?"
"Anu ... ini kan, pondok pesantren. Lah, Mbak malah nggak pakai jilbab. Lagian Fikri, sih! Kenapa nggak bilang kalau acaranya bukan di rumah Afra?" Elea langsung menuding Fikri.
"Kan di undangan ada alamatnya. Mbak nggak lupa kalau di sana bukan tertulis alamat Afra, kan?"
"Mana sempat ngecek, keburu kaget karena dadakan," protes Elea. "Harusnya tadi nggak perlu repot-repot nyalon, ngurus rambut. Kan Mbak bisa pakai pashmina, kayak Faza," lanjutnya.
Memang aneh dan tidak biasa jika perempuan tidak berhijab masuk ke dalam area pondok. Apalagi, wilayah santri putra lebih dominan dijadikan sebagai tempat berlangsungnya acara. Santri-santri itu tampak lalu lalang. Beberapa memakai seragam abu-abu, sisanya berbaju koko dan bersarung.
Sesaat, Fikri merasakan seperti sedang kembali ke masa-masanya menuntut ilmu. Tempat seperti ini selalu kental akan nuansa islami, membuatnya betah menghirup napas lama-lama di sana. Membawa kitab, memakai peci hitam, dan mengeratkan sarung di pinggang. Ciri khas yang jarang ditemukan kecuali di pondok pesantren.
Ah, nyatanya menuntut ilmu pun tidak membuatnya memahami arti cinta. Perbedaan yang dari dulu dipuja membawa lelaki itu pada ketidakpercayaan pada doktrin yang selalu dianut. Tidak ada yang mengetuk hatinya, meski bait-bait kitab memenuhi kepala. Dia patah setelah tumbuh tinggi.
"Mas Fikri, halo! Hei, ngelamunin apa? Mbak Afra?"
Fikri mengerjap ketika suara Faza terdengar dekat di telinga. Bulu kuduknya sampai merinding karena kehadiran gadis itu yang tiba-tiba berada di dekatnya. Fikri menggeleng, menjauhkan kepalanya sedikit. Lelaki itu saking dalamnya bernostalgia, sampai lupa bahwa ia harus menerima kenyataan baru.
Ia bergegas membuka pintu. Saat menjemput Faza, sudah telat tiga puluh menit bahkan lebih. Waktu yang digunakan saat menempuh perjalanan juga terkuras tiga puluh menit. Agaknya ia harus turun sekarang. Cepat-cepat memberi ucapan selamat dan langsung minggat.
"Ayok, Mbak." Faza menggenggam punggung tangan Mbak Elea.
"Ng ... anu ...."
"Mama, ayo!" seru Chesa.
"Eh? Mama di sini aja, deh."
"Loh, kenapa?" Gadis kecil itu mengerucutkan bibir.
"Karena Mama nggak pakai jilbab, Sayang."
"Kalau nggak pakai jilbab, nggak boleh masuk?"
Elea mengangguk. Ia tidak mungkin mengajarkan soal toleransi beragama saat ini kepada Chesa. Umurnya masih lima tahun dan sekarang mereka sedang tidak berada di rumah. Mungkin, sepulangnya nanti atau suatu saat ia bisa mengajarkan putri kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...