Pertarungan terburukmu adalah memilih antara apa yang kauketahui dan apa yang kaurasakan.
(Alex Haditaghi)
🕊
Fikri masih mengingat jelas bagaimana ibunya menceritakan kisah pertemuan dengan sang ayah ketika berkunjung ke sebuah panti asuhan untuk memberikan donasi. Katanya, perjumpaan awal memberikan pertemuan-pertemuan lain yang tak disangka. Berbicara sedikit, saling mengenalkan nama. Lelaki terpelajar berkacamata tipis yang pendiam itu bernama Ahmad, orang Bandung tulen. Perempuan bergingsul yang murah senyum dan periang keturunan Manado itu bernama Laura.
Topik obrolan yang mereka bicarakan selalu sama, terkait perbedaan. Faktanya, mereka membicarakan lingkungan yang melingkupi kehidupan tanah lahirnya. Laura senang bertanya-tanya tentang rasisme, sedangkan Ahmad memberi jawaban sederhana. Diskriminasi disebabkan ego, rasisme dikarenakan sangkaan buruk. Hingga pada satu titik, dipicu sedikit saja, dua kubu bisa saling serang.
Tragisnya, hingga mati membawa-bawa alasan jihad. Entah jihad mempertahankan ego, keyakinan, atau apa. Dari dulu, Ahmad tak kunjung paham. Laura sependapat, ia juga tak mengerti. Karena itu, mereka senang membicarakan hal yang sama; perbedaan itu rahmat atau bencana? Perbedaan itu menyatukan atau memecah belah?
Dua tahun cukup membuat mereka terpaut. Ahmad tak segan menunggui Laura hingga selesai pelayanan untuk diajak jalan bersama sembari membicarakan banyak hal. Sesuatu yang Ahmad kagumi dari gadis cantik itu adalah pandangannya yang selalu positif. Yang Laura sukai dari Ahmad adalah pikirannya yang terbuka dan tidak berat sebelah.
Bukankah mereka cocok?
Ya, maka dari itu terjadilah pernikahan. Tanpa restu orang tua, tidak dihadiri saudara, dan hanya ditemani beberapa sahabat. Mereka bahkan harus pindah dari Bandung dan bertempat tinggal di Surabaya. Tak ada yang mudah dari ditolaknya status mereka sebagai anak di keluarga masing-masing.
Dari sana, Ahmad dapat mengambil sebuah kesimpulan. Bahwa perbedaan tak pernah dapat diterima, padahal pilihan itu ada dalam diri masing-masing. Mereka berjalan di atas stigma kuno dan terikat di dalamnya.
Dari sana pula, Laura mengambil pelajaran baru. Bahwa perbedaan menciptakan jarak. Setidaknya, ia masih berharap dapat mempersatukan visinya dan Ahmad. Berbagi cerita dari dua kitab berbeda, mengajari anak-anak tentang pentingnya toleransi, serta membentuk keluarga yang bebas dari polusi rasisme.
Sepakat untuk membiarkan anak-anak mereka menentukan pilihannya sendiri dengan kesadaran penuh. Membebaskan mereka untuk mengganti nama sesuai kepercayaan yang diambil. Mendidik bahwa dari beda, selalu ada cinta.
"Pak? Saya mau ngumpulin tugas teman-teman."
Fikri terperanjat ketika mahasiswa yang menjabat sebagai komisaris di kelas tersebut berdiri di hadapannya dan menyerahkan beberapa lembar kertas polio. Lelaki jangkung itu mengerjap sebentar, membenarkan posisi duduk. Bisa-bisanya ia teringat cerita Laura saat tengah memberi tes kepada mahasiswa. Akibatnya, dia tidak begitu fokus memantau mahasiswa yang menyontek.
"Ya, taruh di sini aja."
Komisaris menurut. Fikri melirik arloji di tangan kiri, mendesah pelan. Masih ada satu SKS lagi waktunya mengajar di kelas ini, tetapi ia kehilangan minat. Biasanya, lelaki itu tidak akan keluar kelas tanpa menjelaskan apa pun kecuali saat ujian final. Ia cukup sadar diri untuk tidak makan gaji buta.
Hari ini mungkin bisa jadi pengecualian. Diliriknya mahasiswa yang saling bincang sebentar. Fikri kemudian bangkit, meraih tas punggung dan memasukkan kertas-kertas ke dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...