Cinta bukan melepas, tapi merelakan. Bukan memaksa, tapi memperjuangkan. Bukan menyerah, tapi mengikhlaskan. Bukan meraintai, tapi memberi sayap.
(Fiersa Besari)
🕊
Lingkar matanya makin jelas, lelaki yang tengah berkutat dengan laptop memeriksa secara rinci email yang masuk itu makin kuyu penampilannya. Kacamata tipis yang bertengger sempurna di atas tulang hidungnya yang tinggi menambah kesan melelahkan di wajah tampan tersebut. Beberapa kali ia mencebik, menandakan bahwa ia lelah, tetapi enggan berhenti.
Fikri menggerutu dalam hati. Mengapa mahasiswa masih senang mengambil jalan pintas? Plagiasi yang dilakukan rata-rata mencapai 50%, bahkan ada yang secara terang-terangan menjiplak seisi makalah, hanya mengubah sampul depan saja, mengganti nama penyusun yang lalu dengan namanya.
Selain itu, yang membuatnya kesal adalah beberapa rujukan yang tidak pas. Dalam daftar pustaka diurutkan beberapa judul buku yang dijadikan referensi, tetapi tidak ada narasi dari buku tersebut dalam makalah yang disusun. Penulisan Bahasa Indonesia yang benar juga masih banyak yang keliru, padahal mahasiswanya sudah menginjak semester lima. Setiap unit sama saja.
Ah, Fikri memang orang yang terlampau teliti dan perfeksionis. Hal-hal kecil seperti itu tidak pernah luput dari pengamatannya.
"Udah, sih, tidur aja." Itu suara Mbak Elea. Perempuan yang sudah memakai daster itu berniat keluar untuk mengambil air sebab haus. Namun, urung balik ke kamar ketika sadar bahwa lampu ruang tamu masih menyala.
Mbak Elea memutuskan duduk di sofa, melihat objek yang membuat Fikri masih betah berlama-lama menghabiskan malam.
"Nggak bisa, Mbak. Makalah mereka hancur sehancur-hancurnya. Copas sana-sini, asal-asalan nyantumin daftar pustaka, urutan penulisan footnote masih ada yang salah, nggak ngikutin ketentuan ejaan bahasa Indonesia yang bener juga," keluh Fikri.
Elea tertawa renyah. Dari dulu, Fikri memang tak berubah. Wataknya yang teliti dan perfeksionis sempurna mirip Papa. Lihat sekarang, kelebihan itu justru menyusahkannya.
"Lihat, tuh, paman kamu. Belum tidur sampai jam segini karena kerajinan periksa tugas mahasiswanya," ujar Mbak Elea sambil mengusap perutnya yang buncit. Usia kandungannya hampir mencapai tujuh bulan.
Fikri mencelos. "Mbak tidur, gih, kasian dia kalau Mbak nggak tidur. Ini masih banyak yang harus diperiksa."
"Kamu, tuh, yang harus tidur. Kasian tuh mata sampai punya lingkar hitam. Kek panda."
Fikri mengisyaratkan matanya pada laptop. Mbak Elea melengos.
"Mahasiswa itu tugasnya kan banyak, Dek, nggak cuma dari kamu. Ya, wajarlah mereka copas dikit-dikit. Nggak usah terlalu dipikirin, lagian."
Fikri mencebik. Mana bisa begitu.
Mbak Elea memajukan tubuh, menutup laptop milik Fikri. Sebelum pemuda itu protes lebih jauh, sang kakak melepas kacamata tipis dari wajah adiknya, kemudian memijat bahunya sebentar.
"Tegang amat nih bahu. Rileks dikit. Nggak capek apa, kerja mulu? Ngejar apa sih?"
"Duh, Mbak, jangan keras-keras---aw!" protes Fikri. Jari Mbak Elea memang pandai mengendurkan otot-otot yang menegang. Dari dulu, ia seperti juru pijat di rumah. Namun, tetap saja Fikri tidak terbiasa dipijat.
"Oke, udah." Mbak Elea menepuk bahu Fikri. Lelaki itu bernapas lega.
"Oke, makasih." Lelaki jangkung itu merenggangkan badan hingga beberapa tulangnya berbunyi saat ia menarik tangannya ke atas tubuh. Kemudian ia mengambil laptop, hendak beradu ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...