Teori 42

20 7 5
                                    

---Silakan dibaca di waktu luang---

Jika cinta tidak diterima, berpindahlah. Ketika cinta tidak dihargai, menjauhlah. Semoga waktu mengajarimu apa itu cinta sejati."

(Jalaluddin Rumi)

🕊

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayna Mafaza binti Abdul Karim dengan mas kawin emas 20 gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai."

Dengan mantap dan lugas, lafal tersebut terucap dari lisan Fikri. Degup jantungnya tak karuan kala netra teduh Abah berubah tajam menatap lelaki yang akan menjadi menantunya saat mengucap lafal ijab. Namun, setelahnya, Abah tersenyum hangat lagi, ketika Fikri berhasil tanpa harus mengulang lafal.

Para saksi tanpa ragu menyatakan kesahihan ritual ijab kabul, membuat beberapa tetamu memekik tertahan. Elea di belakang bertepuk tangan pelan, Afra berjengit sambil memegang tangan Faza. Wajahnya tidak lepas dari senyuman sepanjang prosesi akad berlangsung. Tiga orang itu memang khusus duduk di belakang, area perempuan dan laki-laki diberi batasan agar tidak bercampur baur.

Di samping itu, telapak tangan Faza mulai dingin. Gadis yang makin cantik dengan riasan dan kebaya putih panjang itu tidak berani mendongak sama sekali, seakan-akan kepalanya menanggung beban berat yang jika ia menoleh, beban itu akan tumpah. Elea senang sekali meledek, mengatakan bahwa adik iparnya malu-malu kucing.

"Mafaza."

Namun, ketika Fikri menjemput, ia tidak kuasa menahan pandangannya untuk menunduk lebih lama. Lelaki itu—suaminya—sudah berlutut di hadapannya, memanggil namanya dengan suara yang rendah. Meski patah-patah, Faza mengangkat dagu, hingga tatapannya berserobok dengan netra yang dibingkai alis tebal milik Fikri. Lelaki itu tersenyum, tetapi Faza malah menangis tiba-tiba.

"Eh, lho? Nanti make up-nya luntur, lho." Afra cepat-cepat menyodorkan tisu.

"Dia kenapa, Mbak?" Fikri juga bingung, pertanyaannya ditujukan pada Elea yang tampak tenang dan tidak panik sama sekali.

"Cuma perempuan yang tau rasanya," balas Elea. Perempuan itu mengusap punggung Faza. "Apa nggak mau nyambut tangan suamimu?" selorohnya, sadar melihat tangan sang adik yang sudah menggantung.

"Grogi, ih. Sanaan dikit, Mas. Aku sesak napas lihat Mas Fikri," kelakar Faza spontan. Sontak saja, orang-orang yang berada di dekatnya terkekeh, termasuk Fikri.

"Grogi, grogi. Ntar malam juga tidurnya sampingan," celetuk Afra yang langsung dihadiahi cubitan ringan oleh Faza. "Dah, sana. Kasihan Mas Fikri nunggu."

Faza mendongak sekali lagi, senyum Fikri masih sama. Gadis itu perlu beberapa detik meyakinkan hatinya untuk menyambut uluran tangan sang suami, membuat siapa pun yang menyaksikan jadi gereget sendiri. Sementara itu, Fikri masih pada posisinya, tidak bergerak, sabar menunggu Faza.

Tidak ada yang tahu, lelaki itu sejak akad menahan napas sebab dadanya terasa sesak. Hatinya penuh oleh haru, ada udara yang mendorongnya untuk menangis, tetapi selalu dinetralisir. Ia tidak akan menangis di depan banyak orang. Ketika melihat wajah Abah dan Faza bergantian, hatinya resah. Ia takut tidak mampu membahagiakan Faza seperti yang dilakukan Abah.

Namun, tepat ketika punggung tangannya dikecup oleh Faza, air matanya secara ajaib keluar tanpa permisi. Cepat-cepat diseka sebelum lebih banyak orang menyadarinya.

"Jangan cuma ngelap air mata sendiri. Tuh, air mata Faza juga diseka," ceplos Elea.

Fikri akhirnya menyadari bahwa kini, raganya bukan lagi menjadi miliknya seutuhnya, begitu pula Faza. Satu sama lain menjadi pelengkap dan penyempurna. Maka, ia gerakkan jempolnya untuk mengusap pipi sang istri, menyeka aliran air dari sana.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang