Teori 31

25 8 9
                                    

Jangan kau seperti iblis, hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam.

(Jalaludin Rumi)

🕊

Matahari telah pulang, menyatakan hendak tenggelam sesuai ketetapan alam, digantikan dirgantara kelam, menelan segala terang yang dipertahankan siang. Perlahan, suhu kian rendah, menggantikan peran hangat yang meniupkan rasa aman. Fikri masih di ruang rawat Laura, duduk bersedekap dengan mata yang awas.

Ia sesekali melirik Elea yang sudah mendengkur halus di atas brankar, memaksa tidur bersebelahan dengan ibunya di ranjang sempit itu. Meski hanya dengan melihat, Fikri tahu bahwa dekapan sang kakak pada raga ibunya begitu rekat. Sesekali kakak perempuannya itu merintih, tetapi Laura cekatan mengelus surainya, membuat Elea kembali tenang.

Fikri tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak menyaksikan insiden sore tadi. Ia masih setengah percaya bahwa apa yang terjadi membuatnya memutuskan untuk menghentikan itikadnya pada din yang diwariskan Ahmad kepadanya. Segala hal terasa asing, termasuk ketika dirinya memilih bergeming ketika lantunan azan menyapa rungunya. Ia tetap duduk, tidak wudu tidak bangkit.

Ia selesai dengan segala omong kosong tentang agama.

Ketika dirasa suhu mulai merasuk pori-pori dan mengangkat bulu halus di tangan, Fikri beranjak mematikan pendingin ruangan. Di luar, hujan tengah menyapa, berlomba-lomba menciptakan bising bersaing dengan ributnya isi kepala remaja laki-laki tersebut. Ia melirik jam dinding, sudah pukul dua dini hari. Bahkan irama hujan di luar tidak bisa membujuknya untuk menyapa mimpi dan lelap dalam delusi.

Fikri memilih untuk menyingkap gorden, menikmati pemandangan tirta yang turun susul menyusul dari langit ditemani cahaya hangat dari lampu gedung dan jalanan. Napasnya dengan mudah menguap menjadi embun kala menyentuh kaca jendela, tetapi pikirannya sama sekali tidak teralihkan.

Seberapa superiornya manusia hingga bisa menindas ideologi yang dianut orang lain? Seberapa tingginya kualitas agama jika penganutnya merasa berhak menentukan surga dan neraka orang lain? Seberapa berkuasanya sebuah dogma sehingga manusia merasa dapat menyaingi tugas Tuhan untuk menghardik manusia lain?

Ah, betapa memalukan bagi lelaki itu saat menyadari ia tengah bertanya tentang sesuatu yang dulu begitu kuat dipegangnya. Ia skeptis oleh keyakinannya sendiri. Keyakinan yang kata orang adalah rahmatan lil 'alamin. Benarkah demikian? Benarkah rahmat?

Fikri mengusap kasar air mata yang mengalir kala memorinya tidak sengaja membuat reka ulang penghinaan Oma terhadap ibunya. Hatinya sakit mendengar tiap ujaran kebencian yang menyudutkan Laura. Wajah teduh ibunya menambah luka, bagaimana bisa perempuan itu tetap tersenyum bahkan ketika dihardik sedemikian rupa? Bagaimana ia bisa tetap tunduk alih-alih mendongak dan membantah tiap tudingan Oma?

Hal itu membuat dada Fikri sesak.

Ahmad tidak kembali setelah pergi dari ruang rawat beberapa jam lalu. Hal itu juga membuat Fikri sesak. Ia hendak bertanya pada siapa sekarang?

"Kamu belum salat Isya, loh."

Fikri tersentak kala ucapan lembut Laura menyapa telinganya. Remaja itu menoleh, mendapati sang ibu tengah berdiri sejajar di sebelahnya, memegang  tiang infus dan bersandar di dinding.

Fikri cepat-cepat mengambil kursi tunggal, menyuruh Laura untuk duduk saja. Ibunya menolak, kecuali Fikri ikut duduk di sebelahnya. Akhirnya, Fikri keluar kamar, mencari kursi satu lagi agar bisa duduk bersebelahan dengan sang ibu.

"Tadi Magribnya juga lewat, kan? Mama nggak lihat kamu keluar kamar sejak tadi sore," celetuk Laura lagi. Fikri menunduk.

"Kamu lagi mikirin apa, hm?"

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang