Teori 26

26 9 9
                                    

Sesungguhnya jiwa menjadi terbiasa untuk hal yang Anda biasakan.

(Al-Ghazali)

🕊

Fikri sejak tadi tidak memedulikan hiruk pikuk sekitarnya, sibuk memeriksa laporan mahasiswa, bolak-balik memeriksa absen, mencatat nilai. Sesekali ia menyuruput kopi, tetap tidak mengacuhkan bau cat baru yang memenuhi rongga hidungnya. Laki-laki itu nyaris lupa bahwa dirinya harus mengumpulkan nilai semester genap mahasiswanya.

"Woi!"

Fikri mengaduh ketika bahunya digeplak oleh Elea. Sejenak ia melepaskan kacamata tipis yang menghiasi wajah, memicingkan mata menatap sang kakak.

"Kontrol, dong, malah asik sendiri."

Laki-laki itu mengurut pelan tulang hidungnya lantas kembali memakai kacamata, menatap layar laptop. Merasa diabaikan, Elea menyikut lengan adiknya.

"Ada Kamil, Mbak. Dia yang kontrol," ucap Fikri akhirnya.

"Mana? Dia lagi asik bicara sama Faza, nggak ngontrol," celetuk Elea.

"Mana?"

Fikri celingak-celinguk, tanpa sadar mencari keberadaan dua manusia yang barusan disebut namanya oleh Elea. Namun, yang didapati oleh atensinya adalah Faza yang masih sibuk menata rak sudut mini berisi barang-barang imut dan Kamil sedang memasang ornamen hiasan dinding.

Elea berdeham, tersenyum jenaka. "Kasian, ditipu," ejeknya. Fikri menghela napas berat.

"Jangan ganggu dulu, Mbak. Ini urgent, belum lagi input nilai anak-anak. Kalau silap, bahaya."

Elea mengangguk-angguk dengan wajah yang masih dipenuhi oleh senyuman.

"Mas Fikri, bukunya datang! Bantuin, berat!"

Fikri bergegas bangkit dari tempat duduknya, membantu Faza memindahkan buku dari mobil kurir menuju rak di pojok baca. Ia juga dengan telaten menyusun buku berurutan berdasar warna sampulnya. Lelaki itu sampai repot-repot mengulang tatanan ketika dirasa urutannya tidak pas.

"Harusnya diurutin berdasarkan kategori, biar orang yang nyari nggak bingung," kata Faza setelah beberapa menit hanya diam mengamati tindakan Fikri.

"Nggak bagus jadinya," balas lelaki itu.

Faza mengedikkan bahu. "Ini apaan? Buku ilmiah sama novel disusun berdampingan, selang-seling. Nggak cocok. Terus ini, loh, buku motivasi sama novel anak kok disatuin? Lagian buku ilmiah harusnya di atas, bukan di tengah. Novel dan buku motivasi di tengah, buku anak-anak di bawah. Mas Fikri pikir, anak-anak kalau mau ambil buku bacaan mereka, harus terbang biar nyampe ke rak atas, gitu?"

Fikri menghentikan aktivitasnya, menatap Faza yang merengut dan rak buku bergantian. "Nah, susun sendiri. Ribet banget juga. Orang kalau mau baca, ya tinggal baca. Kan bisa milih."

"Eh, eh—" Belum sempat protes, setumpuk buku tiba-tiba diserahkan ke tangannya hingga kepalanya tertutup oleh tumpukan buku tersebut. "Ini nyusun yang di atas gimana? Aku nggak nyampe!"

"Pake kursi atau meja. Itu juga ada tangga."

"Bantuin, dong."

"Kan saya nggak paham."

Faza mencebik. Ia baru hendak meletakkan buku-buku perlahan ke atas meja lalu disusun satu per satu. Namun, karena pandangannya terhalang, ia malah menyenggol kaki kursi hingga membuat tumpuan tangannya goyah. Alhasil, buku-buku itu jatuh dan saling timpa dan menyita banyak atensi di sana.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang