Teori 03

35 10 18
                                    

Hubungan asmara itu seperti kaca. Terkadang lebih baik meninggalkannya dalam keadaan pecah daripada menyakitimu dengan cara menyatukan kembali.

(Anonim)

🕊

Fikri bercerita tentang apa yang ditanyakan. Ayahnya Afra sering kali mengerutkan kening. Jika sedang duduk bersandar, buru-buru menegakkan punggung ketika mendengar narasi Fikri. Afra panas dingin. Terakhir, setelah menyatakan bahwa dirinya meyakini paham deisme, ayah Afra berdeham, secara tidak langsung meminta Fikri untuk menyudahi perkenalan mereka.

Hening beberapa saat. Matahari mulai turun perlahan, mendekati tempat peraduannya. Bias cahaya hangat itu masih betah memeluk wajah Fikri. Sementara itu, ayah Afra mengetukkan jemari di pegangan sofa. Membiarkan sunyi melingkupi mereka.

Teh melati yang disuguhkan Afra sudah dingin. Aroma bunganya sudah tak lagi terhidu. Cangkir Fikri setengah isinya sudah tandas, sedangkan ayah Afra belum mencicipi barang sedikit pun. Ia diam, sibuk menyusun kata-kata yang akan diucapkan kepada pemuda di hadapannya.

Afra tahu persis bahwa sang ayah adalah sosok tegas, tidak memedulikan perasaan orang lain jika merasa pendapatnya benar. Afra juga tahu persis, di balik sikap Fikri yang tenang, lelaki itu rentan akan penolakan. Ia tahu, sosok kaku tersebut selalu butuh cinta.

Sungguh, saat ini sang gadis berharap ibunya pulang dari pengajian sore. Atau setidaknya ada yang datang, bertemu ayahnya. Kucing lewat pun tak apa, yang penting bisa sedikit mengalihkan pikiran mereka. Namun, semesta kompak untuk membiarkan kondisi tiga orang tersebut didampingi rasa canggung.

"Kamu sadar atas apa yang kamu pilih, Nak? Di mana imanmu? Kamu bilang sempat belajar di pesantren sampai jenjang aliyah, kan? Apa pelajaran yang pernah kamu dapat segitu mudahnya hilang dari hatimu?"

Fikri tersenyum kecut. Apa hubungannya pilihan yang diambil dan almamater? Apa hubungannya pelajaran yang pernah didapat dan kondisi serta realita yang terjadi? Fikri sungguh tidak pernah paham. Ia tidak paham mengapa manusia mempertanyakan hal-hal konyol.

Ia tidak akan meminta mereka untuk membayangkan bagaimana rasanya berada di kehidupannya. Ia tidak butuh simpati dari mereka yang tidak berusaha untuk mengerti. Berandai-andai pun dapat mendekatkannya pada kekufuran.

Ah, kekufuran. Bahkan saat ini pun dia telah kufur. Berpaling dari jalan yang benar. Astaga, memangnya apa yang benar di dunia ini? Fikri menggeleng pelan, tidak membiarkan perdebatan pikiran menguasainya dalam situasi ini.

Fikri menarik napas panjang. "Saya dalam kondisi yang penuh kesadaran saat memutuskan hal tersebut, Pak. Saya, tidak pernah bermain-main dalam menentukan pilihan. Mengenai iman, ia ada di hati, tapi tidak di pikiran saya. Lantas, mengapa saya harus hidup dengan status sebagai orang munafik?"

Ayah Afra memelotot. Afra menelan ludah susah payah. Ia tidak berharap Fikri blak-blakan menjawab pertanyaan ayahnya sedemikian rupa. Namun, itulah Fikri. Ia akan menjawab jika ditanya. Lelaki itu juga sudah mempersiapkan diri terhadap apa pun respons lawan bicaranya.

"Benar, saya pernah mondok sampai tingkat aliyah. Pelajaran itu tidak hilang, Pak. Sungguh, tidak akan hilang. Saya berhenti percaya pada dogma, bukan pada Tuhan."

Ayah Afra menghela napas berat berulang kali. Fikri menegakkan punggung, menatap lurus.

"Maaf, Nak. Saya rasa, kalian nggak seharusnya sama-sama lagi. Saya ingin Fikri mengerti, kalau apa yang saya putuskan ini adalah untuk kebaikan Afra."

Fikri tidak perlu waktu lama untuk mencerna perkataan itu. Ia sudah paham. Seharusnya ia tidak datang sore ini. Semestinya pesan Afra tidak usah dibalas. Namun, Fikri cukup tahu diri untuk bertanggung jawab. Demi Afra dan kepastian yang entah kapan mampu diberikannya. Afra, berhak mendapatkan yang lebih baik.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang