Jiwa manusia itu seperti cermin yang memantulkan bayangannya. Kebajikan akan membuat jiwa itu bersinar, sementara keburukan akan membuatnya gelap.
(Al-Ghazali)
🕊
"Mbak." Fikri otomatis menyapa Elea yang terlihat membawa keluar nampan berisi mangkuk dan gelas kosong. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu menoleh, terperanjat mendapati adik lelakinya berdiri di samping pintu rawat sambil menggandeng putri kecilnya.
"Mama!" Chesa ikut menyapa dengan senyum manisnya.
"Eh, Echa kalau mau ke sini, ganti baju dulu, Sayang. Mandi dulu, yang cantik, trus baru dateng ke sini, jengukin Eyang. Ini masih pakai baju sekolah, Cha."
"Pulang, yuk, Ma."
Elea menggeleng pelan. "Duh, nggak bisa, Sayang. Eyang nggak bisa ditinggal. Echa tidur sama Paman aja, ya, nanti malem? Ini bengkak nih, matanya. Semalam tidur jam berapa, hm?"
Elea meletakkan nampan di kursi tunggu, kemudian berlutut untuk menyejajarkan kepalanya dengan putrinya. Chesa hanya nyengir tanpa menjawab pertanyaan sang mama. Anak itu entah belajar dari mana cara memosisikan diri dengan baik sesuai situasi.
"Mas Harsa mana, Mbak?"
"Ngopi di kantin, ini Mbak mau susulin."
"Tante Anis?"
"Datang habis zuhur bareng Yusuf."
Fikri menarik napas panjang. Wajah Elea memang tampak sedikit kuyu. Mungkin benar kata Faza, wanita hamil butuh tidur layak, menyejajarkan tulang belakang di ranjang yang nyaman. Beberapa kali, Fikri juga menangkap gerakan tolak pinggang yang dilakukan Elea. Apalagi ketika hendak berlutut tadi, kakak perempuannya itu tampak sangat kesusahan.
Lelaki itu membiarkan kakaknya berbicara dan melempar canda pada anaknya. Fikri menerawang, melihat langit-langit kemudian mengalihkan pandangannya sesekali pada pintu rawat yang tertutup rapat. Papa ada di dalam sana, rasanya sulit sekali untuk masuk. Namun, menjadi egois juga bukan pilihan yang tepat.
"Pulang aja, Mbak, temani Chesa tidur."
Elea mendengkus. Susah payah ia bangkit lagi, melengos menatap adik lelakinya. "Kan Mbak udah bilang, Papa mau salah satu dari kita di sini juga, temenin beliau."
Fikri menarik senyum miring. "Walaupun kondisi Mbak lagi hamil kayak gini?"
"Makanya kamu ke sini, kita gantian jaga."
"Bilang sama Papa, jangan egois."
"Siapa?"
"Hah?"
"Siapa yang egois? Kamu yang menutup mata dan hati atau Papa yang hanya mau ditemani anaknya sebentar aja?"
Tatapan tajam Elea menghujam netra Fikri. Chesa sudah mengeratkan pegangannya pada ujung baju sang mama.
Fikri akhirnya memilih untuk mengalah, diam, menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. Diliriknya Chesa sekali lagi sebelum pandangannya beralih ke sang kakak.
"Mbak pulang aja. Bilangin Mas Harsa juga untuk istirahat. Mbak semalam nggak tidur, kan?"
Elea membelalak. Sepersekian detik kemudian punggung tangannya menyentuh dahi dan leher Fikri secara bergantian.
"Sehat, sih, tapi nggak normal," celetuknya sebelum sesimpul senyum menghiasi wajah cantiknya. Fikri mendengkus.
"Sebelum aku berubah pikiran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...