Hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.
(Chairil Anwar)
🕊
Elea dan anaknya selamat. Hal itu cukup untuk menjadi kabar baik setelah kecelakaan yang menimpa mereka. Walau masih harus dirawat intensif dan sang bayi berakhir mendekam di dalam boks, tidak apa.
Chesa berkali-kali menjenguk, protes mengapa adik lelakinya kerdil sekali, tidak tampak seperti adik dari teman-temannya. Ia juga menyayangkan malaikat baru tersebut hanya tidur sepanjang hari atau menangis sewaktu-waktu. Gadis kecil yang sudah menjadi seorang kakak itu sering gemas melihat jari-jari kecil yang menggulung, sudah cukup membuatnya kegirangan.
Ahmad dan Anisa bergantian menjaga Elea, sedangkan Harsa dan Fikri sibuk mengurusi perlengkapan Elea dan Ezra-sang bayi laki-laki. Di rumah sakit, mereka tampak semringah, tetapi kala tiba di kediaman, mereka merosot lelah. Sibuk protes tentang cucian menggunung kemudian menyerah, memutuskan untuk membayar ongkos laundry dan berakhir dengan omelan Elea. Harus hemat pengeluaran, katanya.
Selama tiga hari, Fikri disibukkan untuk bolak-balik rumah, kampus, kamar rawat Elea. Ia sampai bergadang karena harus memeriksa tugas mahasiswa. Untung saja kafe dikelola dengan sangat baik oleh Kamil, jadi tidak menambah daftar pekerjaan yang harus dilakukan laki-laki itu. Demikian, ia sengaja membuat jadwal yang bentrok dengan sang ayah agar tidak bertemu saat mengunjungi Elea. Ia masih tidak suka bertemu pria paruh baya tersebut.
"Fik, tiga hari ini Mbak nggak lihat Faza, loh. Kamu ada ketemu dia?"
Fikri mengalihkan pandangannya dari ponsel menuju Elea yang tengah membolak-balik halaman majalah.
"Enggak." Fikri bahkan baru ingat bahwa Faza sama sekali tidak mengunjungi Elea. Biasanya, gadis itu paling senang berkunjung, bukan? Apalagi mencampuri urusan orang lain. Namun, bahkan ketika menjemput Chesa pun, Fikri tidak menemukan Faza-ah, atau mungkin luput dari perhatiannya?
"Kalau nggak ada dia, nggak tau, deh, gimana nasib Mbak," seloroh Elea.
"Udah bilang makasih?"
"Ya, belum. Mbak, kan, nggak ketemu dia."
Fikri mengangguk-angguk. "Lagian kenapa bisa seceroboh itu sampai kepeleset, sih, Mbak?"
Elea mengerucutkan bibir. "Ya, kamu mikir aja! Itu lantai kamar mandi udah licin. Harusnya minggu kemarin jadwal kamu bersihin kamar mandi, tapi kamu tunda terus sampai dua minggu. Kalau Chesa jatuh, gimana?"
Fikri meneguk ludah kemudian terkekeh canggung. Ia bahkan baru ingat tugasnya barusan, tepat ketika Elea menjelaskan. Jika sejak awal mengingatnya, ia pasti akan lakukan secepat mungkin. Lagi pula alih-alih mengkhawatirkan Chesa, mengapa tidak mengkhawatirkan diri sendiri? Hendak berkelakar, tetapi urung. Pandangannya mengikuti derit pintu yang terbuka.
Di sana, Ahmad dan Anisa muncul dengan senyuman lebar.
Fikri mengernyit. Bukankah mereka seharusnya menjenguk di pagi hari? Maka dari itu ia selalu memutuskan untuk mengunjungi sang kakak di waktu siang.
"Eh, Fikri? Lama nggak ketemu. Gimana kabarnya?"
Fikri berdeham. "Baik."
"Nggak main ke rumah Abah?"
Kening laki-laki itu berlipat.
"Faza demam dari dua hari yang lalu. Kirain kamu bakal jenguk dia."
"Yang bener, Pa? Papa tau dari mana?" Bukan dari Fikri, respons pertama malah terlontar dari Elea. Lelaki itu masih mematung mencerna perkataan Ahmad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...