---Silakan dibaca di waktu luang---
Tuhan membolak-balik perasaanmu dan mengajari hal-hal bertolak belakang agar kau punya dua sayap untuk terbang, bukan hanya satu.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
"Abah mau membahas tentang iradah Tuhan. Kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan akal yang kompleks kalau itu malah merugikan fondasi agama?"
Fikri diam saja, ia menunggu Abah melanjutkan pembahasan.
"Bukan karena Tuhan ndak tau manusia akan melampaui batas. Tuhan tau segalanya, Nak. Lantas, apa itu artinya Tuhan sengaja menciptakan manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi?"
Fikri menggeleng. Ia pernah mempelajari sedikit tentang iradah Tuhan, tetapi hingga saat ini pun, ia tidak dapat memahami pola pikir Tuhan saat menciptakan segala hal paradoks di muka bumi. Ketika Abah menanyakan perihal tersebut, ia kebingungan hendak menjawab apa. Akhirnya, seperti orang bodoh yang tak tahu apa pun, ia meminta jawaban.
"Dalam rumus alam semesta, ada yang namanya skenario besar kehidupan, Nak, di mana setiap tokoh memainkan perannya masing-masing yang semua skenario itu dikehendaki oleh Tuhan. Ada yang murni baik, yaitu malaikat. Ada yang murni jahat, yaitu iblis. Ada yang berpotensi untuk menjadi baik dan jahat di waktu yang bersamaan, itu manusia."
"Kesalahan-kesalahan manusia itu nggak melemahkan agama, Nak. Manusia hanya memainkan perannya untuk menjaga keseimbangan. Dalam iradah Tuhan, segala yang terjadi itu baik. Tuhan mengehendaki perbedaan agar manusia memaksimalkan akalnya untuk berpikir. Hingga jika ada yang masih salah jalan setelah berpikir, letak masalahnya ada di kesalahan berpikir, bukan ketidakberdayaan agama.
"Kalau kembali ke pernyataan bahwa segala kehendak Tuhan adalah baik, maka demikian juga orang-orang yang sombong. Jika ada yang tinggi hati, maka ada pula yang rendah hati. Konsep dasar kehidupan, Tuhan menciptakan segala sesuatu seimbang. Kita hanya jarang mendengar lebih banyak pendapat orang lain, mainnya kurang jauh."
Abah menyesap teh manisnya yang kini tidak lagi hangat. Sesekali Abah mencecap, menikmati rasa gula yang larut dalam cairan berwarna cokelat tersebut sambil memejamkan mata, menikmati semilir sepoi yang berlari-lari menggoyangkan daun mangga.
Di samping itu, Fikri masih berusaha mencerna perkataan Abah, diingat dan ditulis secara gaib oleh otaknya. Keningnya berkedut dalam, menandakan bahwa ia tidak hanya sekadar mendengar. Kepalanya juga tengah menggarisbawahi beberapa kalimat Abah untuk dijadikan kunci berpikirnya saat ini.
"Tuhan ndak mengantuk saat menciptakan agama, Nak. Tuhan ndak tidur saat memilih nabi dan rasul. Tuhan ndak leyeh-leyeh saat menulis ayat Qur'an. Tuhan ndak pernah ragu ketika menuliskan nama-nama kita di lauhul mahfud. Tuhan ndak akan menyesal karena telah memberi kita kemampuan berpikir karena sampai kapan pun, Tuhan tau bahwa manusia ndak akan bisa menyaingi kuasa-Nya."
Abah menyeruput minumannya, kemudian atensinya berbelok menatap wajah pemuda yang duduk berdampingan dengannya saat ini. Abah dapat melihat dengan jelas kerutan samar di dahi Fikri, menandakan bahwa lelaki itu sedang berusaha belajar dari penjelasannya.
Abah kemudian tersenyum ketika menyadari gelagat Fikri yang seperti akan bertanya lagi. Penjelasannya belum menuntaskan rasa penasaran anak muda itu ternyata.
"Seperti yang Abah bilang tadi, meskipun manusia tinggi hati, tetap nggak akan melampaui kuasa Tuhan. Saya rasa itu bisa dipahami secara universal oleh semua orang beriman. Seperti yang Abah katakan tadi, semua ketentuan Tuhan itu baik-secara ontologis. Tapi, Bah, kenapa orang yang beriman cenderung mudah menafikan fungsi akal dan selalu mengikuti kehendak hati, padahal hati itu berbolak-balik? Katanya, kalau beriman jangan banyak tanya. Percaya saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...