Di dalam orang yang sinis, di sana ada kekecewaan yang sangat mendasar.
(George Carlin)
🕊
Alih-alih menuju ruang rawat Papa, Fikri memilih kantin rumah sakit. Sejujurnya bibir lelaki itu merindukan cerutu, tetapi ia berusaha untuk tidak menuruti keinginan tersebut. Ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk berhenti, meskipun saat itu yang memaksanya adalah Afra. Alhasil, ia hanya menikmati secangkir kopi.
Nada dering dari ponsel tidak dihiraukan, dibiarkan berkicau takpeduli orang lain terganggu. Nama Elea ada di sana, tetapi Fikri enggan menjawab. Ia menerawang ke arah langit-langit kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Entah apa pasalnya, tebersit rasa bersalah di hati.
Dari dulu, meski terlihat sarkas dan tajam, ia tak pernah suka melihat perempuan menangis. Mama, Mbak Elea, Afra, Faza, atau siapa pun yang bahkan baru ditemui. Namun, beberapa menit lepas ia telah membuat Faza mengalirkan bulir bening di wajah. Ah, lelaki itu terpaksa.
"Loh? Di sini, rupanya? Elea dari tadi neleponin, loh. Ngapain?" Fikri membenarkan posisi duduk ketika Harsa-kakak iparnya-menghampiri dirinya.
"Mas tau, lah. Mbak Elea pasti banyak cerita."
Mas Harsa mengangguk. Ia menyeruput kopi hitam perlahan. Asap masih mengepul, tetapi lelaki tiga puluh tahun itu memang menyukai sensasi kopi yang panas.
"Ya, Mas mencoba untuk ngerti keadaanmu. Mungkin dalam hal ini, kamu nggak semudah Elea menerima masa lalu, tapi setidaknya temui dulu mbakmu. Tanyakan keadaan Papa melalui dia kalau kamu nggak mau ketemu Papa langsung. Sudah di sini, loh, masa nggak ngapa-ngapain? Elea khawatir kamu nggak angkat telepon," saran Mas Harsa.
Ah, benar. Fikri bangkit, meraih ponsel dan tas punggungnya. "Mas ikut?"
"Mas di sini dulu, pengen ngopi. Kamu duluan aja."
Setelahnya, lelaki itu melenggang dari kantin. Disusuri lorong rumah sakit, matanya menjelajah plang bertuliskan nama kamar seperti yang Mbak Elea kirimkan. Hingga di ujung, ia menemukan kakak perempuannya yang tengah mondar-mandir di depan pintu, tangannya memegang ponsel yang ditempelkan di telinga kanan.
"Paman!"
Seruan Chesa sontak membuat Mbak Elea menghela napas lega. Akhirnya sang adik datang jua. Wanita yang tengah mengandung itu dapat melihat jelas wajah kusut Fikri, apalagi ketika adiknya membuang wajah. Ia juga tidak langsung menggendong Chesa seperti biasa, hanya menggandengnya saja.
"Faza mana?" Elea celingak-celinguk. Fikri melengos.
"Gimana keadaannya?"
"Jawab pertanyaan Mbak dulu, dong. Faza mana? Tadi dateng bareng dia, kan?"
"Paman dateng bareng Ibu Faza? Ibu Faza di mana sekarang? Tadi tuh di sekolah, Ibu Faza nggak masuk, tau," celoteh Chesa. Putri kecil itu ikut mengedarkan pandangan, mencari ibu guru tercinta.
Fikri menatap lurus kakak perempuannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mbak Elea meringis, agaknya ia mengerti maksud tatapan adiknya.
"Echa masuk dulu ke tempat Eyang, gih. Ajak bicara Eyang Kakung, biar nggak bosan."
"Kan udah ada Eyang Putri, Ma. Ada Paman Yusuf juga. Nanti Eyang jadi nggak bisa tidur karena Echa ikut ngomong."
Rahang Fikri mengeras. Ibu tiri dan adik sebapaknya juga sedang berada di sini. Alasan itu membuatnya merasa lebih tepat untuk tidak mengunjungi rumah sakit. Harusnya ia tidak ikut Faza tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...