"Di waktu seperti ini, belajarlah menyendiri, karena tidak semua yang kamu cintai akan selalu singgah dan selalu ada."
(Said Ramadhan Al-Buthi)
🕊
Setelah menempuh perjalanan panjang, Fikri, Elea, dan Faza sudah tiba di kediaman Zidan. Afra tidak kunjung mengangkat pandangannya sejak dimulai pengajian. Sesekali atensinya bahkan tampak kosong. Wajahnya pucat bukan main, sambil memegang mushaf, tangannya bergetar. Terkadang mertuanya membisiki, menenangkan.
Setelah pengajian selesai, Fikri, Faza, serta Elea menghampiri Afra. Perempuan dalam balutan abaya hitam itu tersenyum hambar, membuat tiga mereka meringis ngilu. Mata belok Afra seperti kehilangan cahayanya, lenyap tidak bersisa. Di pipinya, masih menjejak bekas air mata. Baik Fikri, Faza, maupun Elea hanya diam membisu, tidak berani memulai kata, takut membuat retak lagi hati Afra.
"Afra udah larang Mas Zidan pergi, tapi Mas Zidan nggak mau dengar," celetuknya tiba-tiba. Sontak ketiga pasang mata kini beralih pada Afra.
Faza menelan ludah. Ia sudah akan menangis, tetapi urung karena Fikri melarang. Biar Afra saja yang menangis. Tugas mereka adalah untuk menjadi sandaran, bukan untuk memancing perhatian.
"Dia jadi yatim," sambungnya lagi sambil mengelus perut yang sudah membulat sempurna. Ini adalah usia kandungan yang kedelapan. Butuh waktu sebulan lagi agar bayi itu lahir dan menyapa dunia. Namun, saat menyapa semesta nanti, tidak ada ayahnya di sana. Betapa perihnya hati mereka membayangkan hal tersebut.
"Afra baru bahagia sama Mas Zidan, loh, udah pergi aja. Kenapa buru-buru, ya?"
Afra melirik satu per satu tiga orang di hadapannya. Ketika atensinya jatuh pada Fikri, ia tersenyum.
"Mas Zidan itu baik. Baik banget."
Fikri mengangguk, tidak menafikan perkataan Afra sama sekali.
"Sekarang, Afra harus ke mana, ya? Afra harus bergantung ke siapa?"
"Ke Allah, ya, Mbak," jawab Faza halus. Ia merengkuh tubuh Afra yang kaku dan hangat. "Mbak juga boleh bergantung ke aku. Mbak boleh bergantung ke Mas Fikri."
Afra tidak menjawab. Tangannya kemudian melingkar, memeluk erat pinggang Faza, kemudian terisak-isak di sana. Hingga lima menit kemudian, posisi mereka tidak berubah. Satu-satunya yang berubah adalah jilbab Faza yang mulai basah.
🕊
"Mas Fikri, sering-sering bantu Mbak Afra, ya?" ucap Faza sambil mengoleskan lotion di kakinya. Fikri hanya berdeham sebagai jawaban.
"Kasihan Mbak Afra. Bakal butuh banget figur suami di saat-saat kayak gini, belum lagi nanti kalau baby-nya lahir."
"Afra ada orang tuanya, Faza. Dia juga punya mertua di sana. Dia nggak butuh Mas."
"Ih, ini beda."
"Beda gimana?"
Faza menerawang langit-langit. "Beda pokoknya. Mas Fikri harus banyak bantu Mbak Afra. Harus sering ada di samping Mbak Afra. Nanti kalau Mbak Afra tiba-tiba butuh, gimana?"
Fikri menutup laptop dan melepas kacamatanya. "Faza, lihat Mas dulu."
Faza meletakkan lotion kemudian memutar tubuh menghadap Fikri.
"Mas paham kamu prihatin sama kondisi Afra. Mas paham, saat ini kamu lagi mikirin gimana rasanya kalau kamu ada di posisi Afra. Mas paham kalau kamu tulus bantu Afra, tapi kamu juga harus paham batasan kamu. Mas itu masih suami kamu, bukan kewajiban Mas urusin Afra. Nanti kalau timbul fitnah gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...