Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.
(Tere Liye)
🕊
Fikri menimbang-nimbang untuk membuka pintu pagar rumah Faza. Halaman asri yang hijau tersebut seakan menyuruhnya untuk melepas penat segera, menikmati embusan angin dari jarak lebih dekat. Suasana begitu terik, ditambah dirinya sejak tadi terpapar polusi jalan raya. Sekarang, laki-laki itu malah ragu mengunjungi Faza.
Sebenarnya, ia juga tidak berniat mampir ke sana. Ahmad yang memaksa, katanya sebagai sambung tangan ucapan terima kasih dari Elea. Kakaknya itu belum diizinkan ke mana-mana oleh suaminya. Mendukung dengan semangat, Elea bahkan memesan buket bunga dan parsel untuk Faza.
Ibu dua anak tersebut jadi merasa bersalah sebab telah memicu trauma Faza. Ia makin merasa bersalah ketika tidak diizinkan untuk pergi menjenguk Faza. Kata Harsa setidaknya harus istirahat selama dua minggu, baru boleh jalan ke luar rumah.
Sekarang, yang memegang parsel dan buket itu adalah Fikri. Helm sejak tadi tidak dilepas, malu dilihat tetangga yang bolak-balik menatapnya. Padahal, jika ia memutuskan langsung masuk, urusannya akan lebih cepat selesai. Bayangkan saja, seorang laki-laki dengan hoodie putih, memakai helm, sebelah tangan memegang buket dan sebelahnya lagi parsel. Apa orang-orang tidak bingung?
"Cari siapa, Mas?"
Seorang laki-laki paruh baya menghampiri Fikri. Lelaki itu gelagapan.
"Cari Abah," jawabnya spontan.
Laki-laki paruh baya dengan kaus oblong itu terkekeh. "Cari Abah atau anak gadisnya?"
"Abah, saya cari Abah, kok," sahut Fikri cepat.
Untung saja memakai helm, kalau tidak, mungkin sekarang bapak tersebut akan menertawai telinganya yang merah sebab memanas.
"Yo wes, masuk aja. Udah seharian Bapak ndak lihat Abah keluar rumah. Kayaknya ada di dalam."
Meski masih dengan wajah yang tersenyum, bapak tersebut tidak memperpanjang urusan dengan menggoda Fikri. Setelah mengatakan hal tersebut, bapak itu pamit lantas berlalu setelah menitip salam untuk Abah.
Fikri akhirnya membuka pagar, meletakkan bawaannya di kursi teras, kemudian menuntun motornya untuk mendapat tempat yang teduh di balik sinar ultraviolet. Ia menghirup napas panjang sejenak, menikmati rimbun pohon mangga yang daunnya saling gesek. Setelahnya, ia mengetuk pintu. Abah membukakan.
"Loh, Fikri? Apa kabar? Masuk, masuk, di luar panas. Abah bikinin jus jeruk, ayo," seru Abah antusias kala mendapati Fikri berdiri di depan pintu rumahnya.
"Eh, nggak usah, Bah, saya ke sini disuruh Papa. Ini cuma mau nitip bingkisan dari Mbak Elea, katanya sebagai ucapan terima kasih," balas Fikri cepat.
"Lah? Kalau ndak masuk, kenapa datang? Tanggung."
"Saya cuma mewakili Papa sama Mbak Elea, Bah."
"Lah? Kemarin Ahmad ke sini, kok, ngunjungi Faza juga."
Fikri melongo, Abah terbahak.
"Wes, masuk aja. Apa ndak kangen sama Faza?"
"Eh—"
"Ndak baik nolak tawaran tuan rumah, toh?"
Belum sempat protes lebih lanjut, Abah menarik pergelangan tangan Fikri dan memastikan lelaki itu duduk manis di sofa ruang tamu. Kemudian, Abah meraih buket dan parsel di kursi teras dan meletakkannya di atas meja tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...