Cinta itu perang, yakni perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia menang, akan didapati orang yang tulus, ikhlas, luas pikiran, sabar, dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa, sesat, lemah hati, kecil perasaan, dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.
(Buya Hamka)
🕊
"Boleh minta tolong?" tanya Faza setelah situasi antara mereka hening beberapa saat.
"Boleh."
"Bawa aku, ke mana aja, untuk sementara. Aku mau nangis dulu puas-puas baru pulang," pinta Faza. Dari tadi, wajahnya terus ditekuk hingga Fikri tidak bisa menilai ekspresi gadis itu.
"Saya orang yang baru kamu kenal, sekadar ngingetin."
"Iya, tau. Aku juga orang yang baru Mas Fikri kenal, tapi udah diajak ke kondangan. Sekadar ngingetin," balas Faza.
Fikri mengangguk, setidaknya ia dan Faza memiliki hubungan timbal balik layaknya orang yang sudah kenal lama. Untuk saat ini, mereka bisa saling percaya. Itu karena semesta membuat mereka patah di saat yang berdekatan.
Tujuh menit kemudian, Ghazi datang membawa jirigen berisi bensin. Fikri turun untuk mengisi tangki. Dua menit kemudian lelaki itu sudah kembali ke balik kemudi.
"Faza—"
"Tolong, Mas. Jangan bawa-bawa aku ke posisi yang sulit," potong Faza cepat sebelum Ghazi memulai bicara.
"Saya permisi, Mas. Makasih udah ditolongin beli bensin."
Fikri menaikkan jendela, lantas menjalankan mobil. Ghazi tertinggal beberapa meter dan kian jauh dari pandangan. Sesekali Faza melihat ke belakang, walau setelahnya, gadis itu menahan isak.
Karena tidak tahu harus ke mana, Fikri melajukan mobil ke arah kafe. Faza tidak protes, bahkan sejak tadi matanya tidak fokus melihat jalanan. Gadis itu baru tersadar kala mobil berhenti. Selanjutnya, ia mengikuti langkah Fikri, ke dalam tempat yang mempertemukan mereka pertama kali.
Gadis itu langsung mengambil tempat di pojokan saat Fikri berbicara singkat dengan barista di sana. Ia termangu, menatap ke luar jendela. Letak kafe ini berada di tengah-tengah kota, membuat pikirannya tak lebih baik, masih ruwet. Namun, setidaknya aroma yang terhidu sedikit menenangkannya.
Beberapa saat kemudian, Fikri duduk di hadapan Faza. Tangannya membawa nampan berisi segelas kopi hitam, secangkir latte, dan kentang goreng. Lelaki itu ikut menolehkan kepala ke luar jendela, mengamati kendaraan yang lalu lalang.
Sesekali ia melirik Faza. Gadis itu menangis tanpa suara. Ia tidak terisak seperti keadaan awal mereka bertemu. Air matanya meluncur bebas, isaknya hanya muncul sesekali. Bahkan Faza sempat-sempatnya memasukkan kentang goreng ke dalam mulut untuk dikunyah dan ditelan.
"Saya ngantuk. Kalau udah selesai nangis, bangunin, biar saya antar pulang." Fikri menundukkan kepala memejamkan mata dengaan posisi yang masih duduk tegap.
"Salah, nggak, Mas, aku nolak dia?" tanya Faza datar. Fikri mendongak lagi, tidak jadi tidur.
"Nggak tau," jawabnya.
"Kalau menurut Mas Fikri?"
Fikri menyeruput kopi hitamnya kemudian memusatkan atensi kepada Faza yang mengaduk latte tanpa minat. Bahkan saat berbicara pada Fikri, gadis itu tak berniat memalingkan wajah dari jendela.
"Jawabanya, tergantung alasanmu."
"Hm? Maksudnya?" Kali ini, Faza menatap lawan bicaranya.
"Kalau alasanmu karena nggak mau disakiti untuk kedua kalinya, keputusanmu salah." Fikri memperjelas kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...