Desember 2015
"S-saya merasa tidak pantas untuk bersanding dengan putri Komandan."
Wildan mendapat perintah yang berat dari sang atasan, yakni untuk menikahi putri bungsunya.
Bukankah menikah merupakan pilihan sekali seumur hidup?
Wildan rasa, perkara menikah tidak semudah hanya sebatas ucapan Ijab qabul dan setelah itu sah menjadi suami istri dimata agama dan negara. Namun setelahnya ada banyak kewajiban dan tanggung jawab penuh membimbing istrinya, hingga pada saatnya ia berhasil membawa wanita itu kehadapan Allah dengan iman dan taqwa. Menikah merupakan ibadah terlama.
Beberapa kali nafas berat sekaligus gugup itu kembali mengudara. "Saya .... hanya seorang perwira kelas pertama, latar keluarga saya juga hanya biasa-biasa saja, bagiamana mungkin saya bisa membahagiakan putri komandan bahkan disaat gaji saya saja belum tentu bisa mencukupi semua kebutuhannya."
Pria paruh baya itu geleng-geleng. "Apa menurutmu putri saya seperti barang jualan yang hanya akan diberikan kepada pria kaya?" tanyanya.
Suara berat yang penuh dengan penekanan di setiap katanya, membuat Wildan kemudian mendongak menatap wajah tegas sang Komandan yang selama ini sudah menganggapnya sebagai putra sendiri.
Namun sekali lagi muncul dibenaknya, mengapa harus dirinya? Bukankah diluar sana lebih banyak pria yang lebih mapan, dan mantap dalam masalah keuangan. Atau seorang tentara dengan pangkat yang lebih tinggi diatasnya.
"Istighfar, nak." Wanita paruh baya--yang tak lain adalah sang Bunda-- sejak tadi hanya diam duduk disamping, mengusap punggung putranya itu, mencoba untuk menenangkannya.
Wanita itu begitu paham tabiat sang Putra. Sejak dalam masih kandungan ia sudah membesarkannya sendirian, tanpa seorang suami yang menemani.
"Wildan, jika hanya persoalan harta, mungkin sudah sejak lama saya menikahkan putri saya dengan pengusaha sukses yang kaya raya. Namun bukan itu yang saya inginkan." --Pria paruh baya itu tersenyum getir-- "Kamu juga salah jika menganggap hal ini sebagai perintah, yang saya butuhkan adalah sebuah kesanggupan, dan saya rasa kamu juga merupakan orang yang tepat, yang dapat membimbing sekaligus menjadi imam terbaik bagi putri saya."
Lagi-lagi Wildan merasa terdapat kepercayaan kuat yang pria paruh itu taruhkan untuk dirinya. Tentu saja karena beliau sudah cukup lama mengenalnya, bahkan saat awal ia dinas di kemiliteran.
Namun kini fokusnya malah tertuju pada sosok gadis berjilbab merah muda kini tengah tertunduk tanpa ekspresi sama sekali, sejak tadi duduk diseberang meja sana juga tak bersuara, seolah masih menunggu jawaban yang sama.
Nadhira Humaira Prameswari. Cantik, dari keluarga terpandang, berpendidikan tinggi, bahkan seorang dokter muda lulusan universitas ternama di Timur Tengah.
Wildan yakin gadis itu begitu diidamkan oleh para pria untuk dijadikan sebagai pasangan hidupnya. Sekilas dia tampak sempurna, hingga membuat Wildan selalu ingin menunduk ke bawah, belum mampu menatap wajahnya.
Namun, siapa yang akan mampu mencintai seorang wanita yang baru saja patah hatinya?
Semua orang tahu, gadis itu baru saja kehilangan salah seorang prajurit terbaik yang akan segera menikahinya sebulan yang lalu. Meninggalkan dirinya untuk selamanya, disaat ijab qobul pernikahan mereka belum sempat terlaksana.
Pertanyaan, apakah benar jika Wildan sudah jauh lebih baik dari pria di masa lalunya? Bagaimana cara belajar untuk mencintai disaat mungkin yang tersemat dihati itu masih bukan namanya? Membuat gadis itu melupakan semua kenangan masa lalu yang masih tersimpan dan terbuka menerima dirinya sebagai suaminya.
Diluar Wildan yang hanya sebatas seorang pengganti baginya, bagaimana cara membuatnya walau untuk sesaat merasa bahagia atau mencoba mengobati lukanya?
Seketika Wildan bungkam. Merasa ragu pada keputusan yang akan ia ambil. Sekali lagi ia menatap wajah pria paruh baya yang juga duduk bersebrangan dengannya, tanpa orang sadari bahwa terselip harapan diwajah penuh wibawanya.
"Sekarang jawab saya sesuai pilihan hatimu. Saya tidak akan pernah memaksa." Titah sang Komandan, tegas.
Apa benar jika permintaan ini bukan hanya sebagai amanah?
Wildan kemudian nafas dalam, sejenak menetralkan pikirannya dengan menunduk, sebelum dengan yakin mengambil keputusan.
"Saya akan menikahi putri Komandan." Jawaban yang mantap dan penuh kesanggupan. --Atas izin Allah.
Pria paruh baya itu seketika tersenyum mendengarnya, "Nak, sekarang bagaimana jawaban Nadhira?"
Gadis berpipi tirus itu sejenak mendongak, masih dengan ekspresi sulit terbaca yang tergambar diwajahnya.
Wildan tahu meskipun ia hanya diam, namun sorot terluka begitu kentara, tampak dari sepasang mata berair miliknya.
"Bismillah.... Ira bersedia, Abah," jawabnya pelan namun juga tegas.
"Alhamdulillah." Seluruh orang yang berada didalam ruangan itu seketika berucap lafaz hamdalah. Menyisahkan Wildan yang hanya terdiam dan kembali menunduk dalam.
Setetes air mata kini ikut jatuh di pelupuk mata Nadhira, entah mengapa ingin meleleh begitu saja. Membuat Wildan semakin bungkam. Ia harap ini bukanlah keputusan yang salah, yang akan semakin menyakiti gadis itu dan dirinya.
•••
Bagaimana rasanya memiliki seorang istri dalam waktu semalam?
Setelah ijab qobul dan resepsi pernikahan selesai dilaksanakan, kini keduanya hanya bisa terdiam. Terjebak di sebuah kamar hotel yang sudah dihiasi oleh banyaknya bunga mawar, harum semerbak dari berbagai jenis wewangian, hiasan lilin, dan dekorasi indah khas pengantin baru lainnya.
Wildan juga belum berniat membuka pembicaraan, membiarkan gadis itu duduk di ujung ranjang, dengan sorot mata kosong, seolah tak ada sama sekali yang ia pikirkan.
Helaan nafas milik tentara berpangkat Letnan satu itu mengudara begitu saja, seraya melepas satu per satu kancing jas luaran yang ia pakai. "Jangan khawatir, saya tidak akan berbuat macam-macam sebelum kamu sendiri siap," ujarnya tak ingin membuat wanita itu merasa takut berada didekatnya.
Nadhira mendongak, menatap sepasang mata tajam milik pria yang baru beberapa jam yang lalu berstatus sebagai suaminya.
"Jika kamu mau, kita hanya akan menunjukkan peran sebagai suami dan istri ketika diluar, ketika di dalam saya tidak akan memaksa. Namun mulai sekarang kamu adalah kewajiban saya, tak peduli meskipun seseorang yang mengisi hati kamu bukan saya. Status saat ini saya adalah suami kamu yang sah, dan kamu adalah istri saya. Demi Allah, saya tidak akan rela jika setelah ini kamu diganggu atau didekati oleh lelaki ajnabi selain saya." Sambungnya.
Nadhira kembali menunduk, mengepalkan tangannya, meremas gaun pengantin yang masih ia pakai. Apakah ia masih akan egois, disaat Allah sudah mempersiapkan pria itu sebagai pengganti luka dihatinya?
Masih ingin terbelenggu pada bayang-bayang masa lalu, saat pria itu adalah masa depan baginya? Apakah ia masih mampu memikirkan pria lain, disaat pria itu lebih nyata, bahkan berada tepat di depan matanya?
"Bagaimana jika saya ingin belajar untuk mencintai kamu?" tanyanya kemudian, terdengar pelan.
Kini wanita itu dengan berani mengangkat wajah, sepasang mata berair menatap Wildan yang terdiam, tak menyangka.
"Apa mungkin bagimu saya hanyalah sebatas amanah dari Abah?" tanya Nadhira kembali, kali ini dengan suara bergetar.
Setetes cairan bening benar-benar meluncur bebas dari pelupuk mata indahnya. Bersamaan dengan Wildan yang masih bungkam, mencerna.
_________
Terima kasih sudah berkenan mampir:)
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian✨
Stay Tuned 🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
