Sejak kepulangan Wildan beberapa hari yang lalu, ia merasa ada atmosfer berbeda dirumah mereka yang biasanya selalu diisi oleh kenyamanan dan senyuman ramah yang diciptakan oleh Nadhira.
Wanita itu lebih banyak diamnya. Bahkan hanya terhitung beberapa pembicaraan yang mereka buka saat bertatap muka.
Seolah mencoba menghindar, Wildan tahu jika wanitanya itu tengah memendam masalah. Meskipun senyuman tipis itu masih tercetak diwajahnya, namun ia tidak lagi menemukan sorot kelembutan dan ketulusan dari kedua matanya.
Pun sama halnya ketika Wildan pulang.
Secangkir teh aroma melati itu sudah tersaji diatas meja, dalam keadaan sudah hampir dingin, tanpa sosok wanita yang biasanya bertanya terlebih dulu ia ingin meminum apa."Nadhira."
Kali ini juga bukanlah panggilan ‘Humaira’ yang mengalun lembut keluar dari bibir Wildan.
Wanita itu mengangkat wajah, dengan sorot mata sendu, seolah sedikit kecewa. Nadhira saat ini begitu menginginkan panggilan itu, panggilan yang membuat hawa sejuk seketika menyapanya.
‘Humaira.’
•••
Satria kembali menepuk pundak sahabatnya, sejak pertama kali bertemu dibawah langit kawah Candradimuka.
Wildan menoleh sekilas, terdapat ekspresi muram diwajahnya.
Padahal yang Satria tahu beberapa waktu terakhir wajah Wildan begitu cerah, bak bulan purnama yang tengah memancarkan sinarnya.
Bagaimana Wildan yang selalu terburu-buru untuk pulang, hanya untuk dapat merasakan wanginya aroma teh melati khas buatan tangan Nadhira.
Serta sambutan hangat wanita itu saat ia baru saja membukakan pintu.Namun, sekarang tampak kembali seperti Wildan diawal-awal ketika ia menikah dengan Nadhira.
"Ada apa?" Satria memberanikan diri untuk bertanya.
Ia begitu paham dengan tabiat milik Wildan, tak ayal lagi kerena mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama. aat masih ditempah di Akmil, dimedan latihan, pengabdian, bahkan pertempuran.
Namun selama dua tahun belakangan Wildan ditugaskan untuk menjadi seorang ajudan dari Mayor Jenderal Galahan Prameswara, yang tak lain adalah mertuanya, lalu dipindahkan ke Batalyon yang juga tempat dinas Satria sampai saat ini.
"Apa kamu mengenal Letda Fathan? Saya dengar ia seorang tentara yang juga pernah bertugas disini," ucap Wildan.
"Untuk apa bertanya jika sudah tahu?"
Wildan kembali menoleh, melihat wajah Satria yang tersenyum getir.
"Letda Fathan. Dia juga pria yang dulu pernah dijodohkan dan hampir menjadi suami dari istrimu, Nadhira. Semua orang mengenalnya, karena dia sangat baik, dan mengayomi bawahannya. Komandan dari Pleton yang juga sekarang kau pimpin."
Ya, sebenarnya Wildan sudah tahu itu semua.
Bagaimana banyak sekali yang mengatakan jika ia benar-benar tak lebih dari seorang pengganti. Entah itu tentang menjadi suami dari Nadhira. Atau jabatan Komandan Pleton yang saat ini ia sandang.
"Dia gugur dalam sebuah misi penyelamatan, setelah mengorbankan dirinya demi melindungi para korban yang akan terkena sasaran penembak runduk musuh. Nyawanya tidak sempat tertolong saat baru saja akan dilarikan ke rumah sakit. Semua orang berduka saat jasadnya dipulangkan." Satria juga sangat mengenal sosok Letda yang selalu saja ramah, murah senyum, dan supel pada siapapun itu.
"Saya dengar selain juga lulusan pesantren dia juga pernah bersekolah di Mesir, masuk Akademi militer dengan jalur tahfiz sepertimu, adik asuh berbeda satu tingkat dengan kita waktu di Akmil, mungkin kau sudah lupa." Lanjut Satria.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...