✧When You Promise || 40✧

3.1K 135 3
                                    

"Humaira..."

Wildan mencoba menghentikan tangis sang istri, kemudian ia peluk untuk ditenangkan, saat wanita itu kembali berbagi semua cerita yang ia alami, selama tidak ada sang suami disisinya.

Kondisi kandungan Nadhira yang cukup lemah, bahkan pada akhirnya harus berjuang melahirkan Naren lewat operasi bedah. Dokter mengatakan setelah itu kemungkinan kecil bagi Nadhira dapat kembali mengandung, karena akan cukup beresiko bahkan mengancam nyawa.

Wildan jadi semakin merasa bersalah, karena semua itu terjadi juga karena dirinya. Bagaimana Nadhira yang dulu tengah mengandung harus menanggung beban dikepala, serta mengalami stres berat bahkan depresi yang semakin memperburuk kondisinya.

"Maafin Ira ya, Mas...." ucap wanita itu masih terdengar lirih.

Wildan seketika menggeleng. "Kita kan sudah punya Aiyna dan Narendra, bagi Mas itu sudah lebih dari cukup." Hiburnya, menghapus pelan air mata yang jatuh di pipi sang istri.

"Mereka juga udah jadi kebahagiaan terbesar kita, lalu kurang apa lagi, Humaira?" Pria itu tersenyum lembut, memeluk tubuh Nadhira lebih erat dan kembali mencium pucuk kepalanya cukup lama.

"Seharusnya Mas yang berterima kasih, karena kamu sudah bersedia menjadi Ibu yang hebat untuk anak-anak saya. Serta Nyonya dari seorang Wildan Ardana." Sambungnya, setengah berbisik diakhir kata.

Nadhira spontan menahan senyum dan sesaat menunduk, sedikit tersipu, saat pria itu kemudian terkekeh. "Sama-sama, Mas Lettu," jawabnya kemudian.

"Hm?" Alis milik Wildan terangkat sebelah, menyadarkan Nadhira. "Oh iya, udah naik setingkat kan ya?"

Nadhira baru ingat, jika setelah ini pria itu juga akan ditempatkan dinas di markas besar Angkatan Darat, bagian kantor sehingga tidak akan sesering dulu diterjunkan langsung ke lapangan. Mungkin karena mengingat kondisi psikis dan cederanya yang juga masih ditahap pemulihan.

"Sama-sama, Mas Kapten!" Ralatnya, sejenak memberikan gaya hormat ala-ala prajurit kearah Wildan, lalu terkekeh diakhir kata.

Tawa pelan yang menurut Wildan mematikan, membuatnya segera mengalihkan pandangan. Saat merasakan ada sensasi panas dipipinya, serta jantungnya berdegup kencang tak berirama.

Semakin Wildan sadari, ini rupanya bukanlah gejala aritmia atau gangguan jiwa. Namun seperti sebuah mantra yang akan selalu menghipnotisnya. Untung saja sudah halal, untuk dapat menatapnya lebih lama. 

Mereka jadi ingat momen-momen awal menikah, setelah sekian lama tak bertemu memang terdapat rasa canggung. Terlebih saat hanya ada mereka berdua.

"Jadi Satria dan Aisyah sudah lama pindah tugas ke Kupang?"

Nadhira mengangguk, saat suaminya itu kembali membuka pembicaraan. "Sudah sejak dua tahun yang lalu, mereka juga kembali mempunyai putra bermana Hassan."

"Semoga saja kali ini, Hassan tidak akan terlihat lebih mirip dengan Mas." Celetuknya.

Nadhira hampir terbahak.

Memang aneh ya, meskipun mungkin terkesan hanya perasaan Wildan saja, karena senang sekali menggoda sahabatnya itu.

Wildan jadi merindukan kabar dari sosok tutor handal dan terpercayanya itu, pria yang selalu dapat membangkitkan semangat dan selalu mensupport Wildan saat berusaha keras untuk dekat dan meluluhkan hati Nadhira.

Satria adalah saudara, sahabat terbaik, teman berpetualang yang hebat, sekaligus keluarga. Setelah mereka juga sudah banyak di tinggal oleh orang-orang terdekat yang lebih dulu meninggalkan dunia.

When You Promise (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang