"Mama mencari apa?" tanya Aiyna pada sang Mama, melihat sejak tadi wanita itu berwajah gelisah seolah tengah kehilangan sesuatu.
"Kalung yang biasanya sering Mama pakai, Aiy. Kemarin kamu juga lihat Mama meletakkan didalam laci nakas kan? Sekarang ga tau kenapa biasa ga ada," balasnya.
Padahal Nadhira sendiri ia selalu meletakkan seperti biasa ditempatnya saat ia lepaskan, kemarin Aiyna juga ikut menyaksikannya. Jadi tak akan mungkin, jika sampai terjatuh karena ia pakai.
Namun entah bagaimana bisa benda yang menurut Nadhira sangat berharga itu bisa hilang seolah tak berjejak.
Apa mungkin ia salah?
"Nanti Aiy bantu carikan, Ma," ucap Aiyna, menawarkan bantuan.
Nadhira hanya mengangguk. Masih mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu, seolah mencoba mengingatkan-ingat jika ada hal yang ia lupakan.
"Kak Aiy kenapa ga bisa diem dali tadi?" Naren ikut bertanya saat didalam kamar mereka Kakaknya itu terlihat mondar mandir, berjalan kesana kemari.
Aiyna menatap sang Adik yang tengah fokus dengan dunia imajinasinya, bermain rumah-rumahan dengan boneka, jika tidak memainkan pistol pemberian Alif kemarin dengan berguling-guling dilantai seolah tengah simulasi berperang.
"Kalung Mama hilang." Terang Aiyna.
Deg!
Wajah Naren mendadak berubah.
Lebih gugup.
"Kamu lihat atau ga? Mungkin aja jatuh atau---" Aiyna kini menatap sang Adik yang spontan berdiri menghampirinya dengan menundukkan kepala, seolah peka. "Naren jangan bilang kamu..." Terpotong.
"Kemalin Nalen yang sebenalnya ambil kalung Mama. Buat bisa ditunjukkan ke temen-temen yang juga punya kalung kelen disekolah." Akunya sambil memainkan kedua jari telunjuk, setelah sedikit ragu.
Aiyna yang merasa tak menyangka, segera memegangi kedua bahu sang adik agar menatapnya. "Terus sekarang kalung Mama di mana?" tanyanya cepat.
"Hiks...." Anak itu tiba-tiba terisak.
"Naren!"
"Nalen juga ga tau! T-tadi tuh waktu pulang Nalen juga balu sadal kalau kalungnya udah hilang. Hiks ... maaf Kak Aiy, Nalen juga ga tau halus gimana, Nalen takut nanti Mama malah." Cicitnya, semakin menunduk di akhir kata.
Aiyna seketika menghela nafas, tak habis pikir lagi. Ia tentu tahu bagaimana sang Mama begitu menyayangi kalung itu, bahkan selalu menyimpannya dengan penuh kehati-hatian. Namun sekarang, bahkan dengan begitu mudahnya Adiknya itu hilangkan.
Apa semua hal memang selalu dianggap oleh Adiknya sebagai mainan?
"Jangan dulu kasih tahu Mama yang sebenarnya. Nanti kita usahakan cari sama-sama, mengerti?" Pesan Aiyna.
Anak itu mendongak menatap sang Kakak dengan wajah sembab, sebelum mengangguk saja.
•••
Namun nihil, keesokan harinya kalung itu masih belum kunjung ditemukan. Setelah sudah mereka usahakan cari sekitar tempat dimana Naren sering bermain, ataupun saat tadi berada disekolah.
Belum membuahkan hasil.
Sama halnya dengan sang Mama yang belum berhenti mencari, mereka dapat melihat jelas bagaimana wanita itu nampak begitu kehilangan benda berharga miliknya itu.
Tentu saja, karena kalung itu mungkin memiliki kesan yang amat mendalam baginya, yang tak pernah mereka ketahui.
"Mama..."
"Ada apa, Aiyna?"
Sore ini Aiyna kembali datang kehadapan sang Mama dengan wajah menunduk, setelah menyuruh adiknya yang berdiri tak jauh disana untuk diam saja.
Naren tahu apa yang akan Kakaknya itu lakukan, kembali mengakui kesalahan yang ia perbuat dengan mengatasnamakan dirinya. Aiyna sudah sering melakukan itu untuknya, agar Naren tidak kembali terkena masalah dengan sang Mama.
Namun tetap saja, hal itu sama sekali tidak pernah bisa dibenarkan, sekalipun ia merasa juga perlu bertanggung jawab atas kesalahan Adiknya.
Aiyna menghela nafas panjang, sebelum berucap, "Sebenarnya ... kalung Mama ga sengaja hilang, karena waktu kemarin---"
"Nalen yang hilangin!" Potong Naren cepat.
Membuat Nadhira segera mengalihkan pandangan kearahnya, sama halnya dengan Aiyna yang masih terus menggelengkan kepala.
"Maafin Nalen, Mama, hiks..." Anak itu langsung saja menunduk.
Nadhira segera menghampiri putra bungsunya lalu memegangi kedua pundak itu erat. "Kamu tahu seberapa istimewanya kalung itu buat Mama, Naren?!"
Mata indah Nadhira bahkan memerah, apakah wanita itu kini sampai begitu marahnya?
Hanya karena sebuah kalung?
"Kalung itu adalah pemberian langsung dari Papa, yang bahkan Mama ga tahu dimana bisa dapatkan kalung dengan kenangan yang sama, sekalipun ada penggantinya."
Naren mengangkat wajah. "Hiks ... tapi Mama selalu bilang kalau Papa udah pulang, pasti nanti dia juga bakalan datang temuin kita, telus kasih Mama kalung yang balu!" Anak itu rupanya tak kalah keras. "Hiks .... itu juga cuma kalung. Mama jangan belebihan!!"
"NARENN!!!"
Suara Nadhira benar-benar naik, tanpa sadar tangannya semakin memegang erat kedua pundak mungil milik Naren, membuat anak itu setengah meringis.
Nafasnya setengah memburu. "Apa kamu sama sekali belum mengerti yang dimaksud Mama selama ini?! Papa sudah lama meninggal, Naren! Dia sudah pergi lebih dulu meninggalkan kita, dan bukan lagi kamu, Mama, atau Kak Aiyna yang dijadikannya sebagai rumah. KAMU PAHAM GA SIH?!" tanyanya semakin membentak diakhir kata, membuat Naren spontan memejamkan mata.
"M-mama..." Aiyna juga sedikit terkejut mendengar suara membentak sang Mama barusan.
"Papa memang sudah lama pulang kerumah, tapi saking jauhnya rumah itu, dia ga akan pernah bisa lagi kembali sama kita. Bahkan sampai sekarang raganya pun...." Tenggorokan Nadhira tiba-tiba tercekat, matanya melunak dengan lelehan cairan bening yang terus saja mengalir, baru menyadari ia juga sudah kelepasan. Mengapa ia selalu saja seperti ini?
"Maaf, Mama..." Naren kembali menunduk, saat sang Mama dengan gemetar melepaskan tangan yang semula berada dipundaknya.
"Dan kamu tahu, Naren?" tanya Nadhira, amat lirih.
Anak itu masih terisak.
"Mama mungkin memang terkesan berlebihan. Tapi setidaknya kalung itulah yang menjadi kenangan terakhir dari Papa, dan sampai sekarang masih bisa Mama simpan. Disaat semua orang diluar sana, terus saja meminta Mama untuk belajar kata ikhlas dan melupakan." Pungkasnya.
"Maafkan Mama..."
Tis!
Air mata Naren juga semakin berlomba-lomba jatuh, namun ia usap dengan kasar. Baru menyadari bagiamana rasa sakit yang selama ini harus Mamanya itu alami.
"Nanti Nalen janji bakalan bawa kalungnya lagi buat Mama ya? Hm?" ucap Naren.
Namun rupanya, Nadhira sudah beranjak dari posisinya dan keluar dari kamar, tanpa sepatah lagi.
Meninggalkan Naren yang semakin menunduk, terisak. Serta Aiyna yang ragu memilih siapa yang harus ditenangkan lebih dulu.
Tapi yang jelas ia tahu setelah ini sang Mama pasti akan kembali mengurung diri dan menangis diam-diam tanpa mereka sendiri ketahui.
__________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...