Dari awal Wildan memang tidak pernah menjanjikan Nadhira untuk hidup serba mewah. Dengan bergelimang harta, atau uang yang akan membuatnya bahagia.
Hanya sesederhana rumah dinas milik mereka yang selalu dibalut oleh senyuman, perasaan nyaman, serta berbagi pengalaman yang tak pernah ada habis-habisnya untuk diceritakan.
"Mas tolong dengerin, ada yang ingin Ira ceritakan..."
Saat itu juga Wildan akan langsung menjadi sepasang telinga yang setia mendengarkan semua cerita bahkan keluh kesah dari istrinya.
Tatapan teduh milik Wildan yang selalu menghadirkan perasaan nyaman. Pria itu akan ikut tersenyum, saat tawa milik Nadhira selalu mengisi celah kosong disela-sela ia bercerita.
Rumah sederhana mereka begitu istimewa dan senantiasa menghadirkan rasa tenang.
Suara muroja'ah hapalan dan tadarus Al-Qur'an.
Takbir diwaktu sepertiga malam.
Gemericik suara keran air, menyambut waktu Subuh yang sebentar lagi akan datang.
Bagi Wildan, Nadhira memang bukanlah sekedar makmum shalat, yang berdiri dibelakangnya. Wanita itu adalah partner terbaik yang Allah kirimkan, lewat Galahan dan jawaban dari doa yang ia langitkan.
Nadhira bukan hanya seorang istri yang mampu mengurus rumah dan semua keperluannya, akan tetapi ia jugalah teman bagi Wildan dalam bertukar pikiran, serta diskusi untuk memecahkan permasalahan.
"Kamu tidak harus serta merta selalu berdiri dibelakang Mas, Humaira." Tangan Nadhira kini Wildan pegang dan ia ajak agar berdiri sejajar tepat disampingnya.
"Posisi kamu itu disini." Sambungnya.
"Hm?" Nadhira sedikit belum paham.
Wildan tersenyum. "Saat kita shalat kamu memang makmum saya. Tapi setelahnya, sebagai istri kamu adalah partner, rekan, dan kawan saya untuk bekerja sama, berkolaborasi dalam urusan agama dan dunia."
Pria itu lalu menyingkirkan beberapa anak rambut yang sedikit keluar dari jilbab yang dikenakan sang istri. "Jadi, tetap bersama dan temani Mas dari samping ya?" Pintanya.
Nadhira hanya tersenyum tipis, sebelum mengangguk.
Ya Allah, hamba jatuh cinta.
***
Kepercayaan penuh Galahan yang memberikan putri bungsunya kepada Wildan tanpa pertimbangan yang lama, bukan didapat hanya karena ia merupakan seorang perwira dengan karir yang mulus, sehingga pantas dijadikan sebagai menantu dari seorang Jenderal sepertinya.
Bahkan jauh sebelum Wildan ditugaskan sebagai salah satu ajudan milik Galahan. Pria paruh baya itu sudah mengenalnya cukup lama, memperhatikan bagaimana perwira muda itu bekerja dengan begitu tanggung jawab dan penuh amanah, kepribadiannya yang membuat Galahan takjub.
Ditambah setelah kedekatan mereka yang cukup lama, Galahan bahkan sudah menganggap Wildan sebagai putranya sendiri.
"Sebenarnya saya mengenal dengan baik Ayahmu, Wil. Kapten Asad Rayhan Pangestu, merupakan rekan satu letting saya. Bahkan saya ikut bergabung bersamanya, di misi terakhir ketika ia gugur. Saat itu, kamu bahkan belum terlahir." Papar Galahan, dengan mata menerawang.
Kini mereka berdua duduk diteras, setelah mereka cukup berkeliling dihalaman belakang kediaman milik Galahan.
Wildan hanya bungkam, tak menyangka akan pernyataan, yang barusan Ayah mertuanya itu layangkan.
"Asad begitu mirip denganmu." Galahan tersenyum getir.
Fatimah---Sang Bunda juga selalu berkata demikian. Wanita itu bahkan kerap kali menangis saat melihat Wildan tampil mengenakan seragam militer, karena akan langsung mengingatkannya pada sosok mendiang suaminya, bukan hanya dari wajah mereka yang amat mirip.
Namun, bagaimana cara keduanya ketika tengah memperlakukannya, perhatian, kepribadian, tatapan lembut, serta senyuman tulus nan khas yang membuat Fatimah merasa bahwa mereka sebenarnya merupakan orang yang sama.
"Abah yakin, Asad pasti bangga sekali memiliki putra sepertimu, Wildan. Bahkan harapan terakhir yang dulu pernah beliau sampaikan pada Abah, agar kelak ia memiliki seorang putra yang juga mengabdi pada negara, mampu melindungi serta membahagiakan Fatimah, dan yang terpenting tetap mengutamakan perintah agama."
"Kamu sudah dijadikan harapan terbesar bahkan saat belum terlahir ke dunia, Wildan." Pungkas Galahan, menepuk beberapa kali pundak menantunya yang hanya tersenyum getir.
Pandangan mereka lalu terfokus pada Nadhira serta Asma--Istri dari Azzam, yang saat itu tengah hamil anak kedua mereka. Keduanya terlihat juga asyik berbincang, dengan Umar yang bermain tak jauh disana.
Disaat sebentar lagi Asma akan segera melahirkan, sebulan yang lalu Azzam mendapatkan perintah penugasan untuk melakukan patroli pelayaran di perbatasan laut Indonesia selama beberapa bulan kedepan.
Entah mengapa Wildan merasa tidak akan tega untuk meninggalkan Nadhira, karena cepat atau lambat pasti nanti akan ada panggilan tugas yang siap tak siap harus ia laksanakan, memisahkan mereka dalam waktu cukup lama atau mungkin saja .... selamanya.
Galahan kembali membuka topik pembicaraan. "Abah mendapatkan isu bahwa akan segera dibentuk satuan pasukan khusus yang akan diberangkatkan dalam sebuah misi pengamanan ke pulau Tirote."
"Saya dengar juga begitu, Bah," jawab Wildan.
"Kamu yakin tidak akan diikutsertakan dalam misi itu kan, Wil?" tanya Galahan kemudian.
Wildan menoleh, diiringi dengan senyuman tipis. "Sekalipun harus diikutsertakan, bukankah dalam segala keadaan kita harus selalu siap menjalankan perintah, Bah. Itu merupakan kewajiban seorang prajurit, sejak ia memilih untuk berkontribusi pada negara."
Galahan kembali menepuk pundak itu bangga, "Benar, nak. Jalankan semua tugasmu dengan penuh tanggung jawab. Nadhira memang kewajiban kamu, namun Abah tahu bukanlah dia satu-satunya. Jadi dimanapun berada, selalu jaga diri kamu baik-baik, karena yakinlah ada yang tidak akan baik-baik saja jika kamu terluka." Pria itu malah menahan tawa pelan diakhir kata, membuat Wildan ikut terkekeh kecil.
Bukan, bukan itu!
Sebenarnya perasaan Galahan saat ini sangat khawatir, sebagai seorang Ayah ia takut putrinya kembali terluka.
Entah mengapa baru saja Galahan sadari, jika ia malah kembali menghadirkan sosok pria yang tak akan pernah bisa selalu bersama dan menemaninya.
Terselip sedikit rasa sesal dihatinya, dan terus berharap sekaligus berdoa, jika cinta putrinya kepada seorang prajurit disampingnya ini tidak akan salah, apalagi harus kembali patah.
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...