Malam ini si kembar diajak oleh Alif ke pusat perbelanjaan untuk jalan-jalan sekalian membeli keperluan sekolah kedua, seperti kaus kaki kesayangan Naren yang hilang sebelah.
Andai saja Alif tahu jika sang keponakan akan begitu menyukai hadiahnya, mungkin dulu ia akan membelikannya lebih dari sepasang.
Saat ini Naren berada digendongan Alif, memegang erat tangan Aiyna yang juga digenggam oleh Nadhira yang ikut berjalan disampingnya.
Mungkin dari pandangan orang-orang, mereka akan dikira sebagai keluarga kecil yang amat bahagia. Tak tahu saja jika sebenarnya Alif adalah bujang lapuk, pria yang masih belum ingin menikah bahkan di umurnya yang sudah dikatakan matang.
"Mama, Nalen pesan es klim, boleh?" Naren berucap dengan mata berbinar cerah.
"Bukannya baru beberapa hari yang lalu kamu baru aja sembuh demam?" tanya Nadhira, membuat bibir anak itu spontan mengerucut.
Sebagai seorang dokter sebenarnya Nadhira tahu jika mengonsumsi es krim tidak ada sangkut pautnya dengan penyebab demam atau flu yang disebakan oleh infeksi virus. Namun sebagai seorang Ibu tentu jawaban melarang itu akan tetap keluar dari mulutnya, secara alamiah.
"Aiy aja yang pesan, Ma?" ucap Aiyna tak ingin melihat adiknya itu terus-terusan cemberut.
Tentu saja hal itu membuat binar cerah kembali tampak dikedua mata bulat milik Naren, saat sang Kakak seolah memberikan kode padanya.
Aiyna yang pesan, tapi ia akan ikutan makan. Pasti ujung-ujungnya Naren juga yang akan lebih banyak menghabiskan.
Nadhira yang mengetahui itu hanya geleng-geleng, sudah hafal. "Tidak!" ujarnya penuh penekanan.
"Ihhh, Mama kok galak?" tanya Naren, karena tak bisa lagi menahan rasa kesalnya.
"Naren juga, kenapa tidak mau menuruti Mama?" Nadhira balik nanya.
Jadilah perdebatan kecil dimeja mereka, yang malah mendapatkan lirikan gemas dari beberapa pengunjung. Habisnya Ibu dan anak itu kini sama-sama melipat tangan didada, belum ingin berhenti tatap-tatapan, apalagi mengalah.
Pipi berisi Naren yang mengembung lalu melengos kearah samping. Nadhira tak sadar anak itu rupanya juga ikut menurun darinya.
Aiyna dan Alif juga gak tahu harus berbuat apa, memilih diam saling melempar tatapan. Sebelum pada akhirnya Alif memutuskan untuk menengahi mereka.
"Ra ... gapapa sekali-kali izinin buat makan es krim. Naren juga lain kali jangan bandel, harus belajar mengalah apalagi sama wanita, soalnya kita laki-laki kan--"
Terpotong.
Diakhir kata keduanya malah kompak menatap Alif tajam, membuat pria itu spontan semakin gelagapan.
Okay, lebih baik Alif diam.
•••
Setelah ada sedikit drama akhirnya makan malam mereka dapat menyelesaikan sesi dinner dengan aman, damai, dan tentram.
Akhirnya diambil keputusan final, satu cup es krim itu dibagi tiga, untuk Alif, Naren dan Aiyna. Meskipun tetap saja, si bungsu menjadi yang paling gercep menghabiskannya.
"Sudah selesai?"
"Hu'um."
Naren mengangguk, saat mulut dan wajahnya yang terlihat berantakan sudah mulai dilap oleh Alif menggunakan sapu tangan.
"Eh?"
"Ada apa, Naren?" tanya Aiyna, melihat adiknya itu tampak sedikit tersentak setelah menoleh kearah samping.
"Mama ... olang itu kok milip sama foto Papa." Cetus Naren, namun sedikit samar, saat tubuhnya mulai diangkat Alif untuk kembali digendong.
Apa jangan-jangan pria itu adalah orang yang sama, dengan yang tak sengaja ia lihat di sekolahnya kemarin? pikir Naren.
"Hm?" Sang Mama tampaknya juga setengah tak mendengar ucapannya barusan.
"Olang itu tadi..."
Nadhira kemudian ikut menoleh, ke arah yang ditunjuk oleh jemari kecil putranya. Namun sayang seorang pria yang menjadi fokus perhatian Naren tadi, sudah lebih dulu meninggalkan tempatnya.
Meja itu sudah kosong, tanpa ada pemilik, yang tersisa hanyalah sebuah cangkir dengan teh aroma melati yang mulai mendingin.
•••
"Kak Aiy..."
Saat Nadhira sudah keluar dari kamar mereka, dan mematikan lampu seperti biasa. Naren mendekat kearah ranjang sang Kakak yang berada tepat disampingnya.
Gadis itu rupanya juga belum tertidur, perlahan membuka mata menatap wajah adiknya.
Lampu tidur yang berada diatas kemudian dihidupkan agar sedikit ada pencahayaan, meskipun masih tetap remang.
"Kenapa?"
"Kakak sebenalnya lihat ga sih? Olang yang kata Nalen disekolah kita kemalen?" tanya Nalen.
Aiyna menaikkan sebelah alisnya. "Yang mana?"
"Itu tuh, olang yang kemalen lihatin kita telus dali jauh." Terang Naren.
Ah iya, Aiyna jadi ingat.
Sudah dikatakan jika memiliki kepekaan yang cukup tinggi, merasa ada sepasang mata yang tak berhenti mengamati mereka terlebih pada sang Adik, membuat Aiyna jadi sangat khawatir jika kembarannya tengah diintai dan terancam.
"Makanya waktu sekolah Naren jangan pernah jauh-jauh dari Kakak, mengerti?" ujar Aiyna, memegangi kedua pundak sang adik, memperingatkan.
"Ih, bukan itu! Tadi Nalen lihat dia juga ada, waktu kita lagi jalan-jalan dan makan sama Abi."
"Emang iya?" Aiyna jadi mengingat-ingat. Ia tidak melihat hal yang serupa. Apa karena tadi ia terlalu fokus menikmati momen kebersamaan mereka ya?
Pokoknya ia tidak bisa membiarkan hal ini lebih lama. Seperti pagi nanti Aiyna akan segera menyampaikannya pada sang Mama.
"Kak Aiy.... olang itu milip foto Papa." Nalen setengah berbisik saat mengatakan itu pada Aiyna.
"Jangan mengada-ada, Naren! Kamu mau lihat Mama nangis dan bersedih lagi kayak kemarin?" Suara Aiyna tiba-tiba sedikit meninggi, membuat bibir Naren mengerucut.
"Tapi Mama kan juga bilang Papa udah pulang, telus kenapa sampai sekarang kita ga bisa ketemu sama Papa?!" balasnya, juga ikut menekan.
Aiyna menghela nafas panjang.
Ah, tidak. Apa adiknya itu masih sama sekali belum mengerti sebenarnya yang dimaksudkan oleh sang Mama?
"Pasti bental lagi Papa juga bakalan ketemu sama adek. Tunggu aja." Anak itu masih terus bergumam, saat memutuskan kembali berbaring diatas ranjangnya. Memejamkan mata seraya tersenyum dengan memeluk boneka.
Melihatnya Aiyna masih bungkam.
Tentu, bukan hanya Naren saja yang menginginkan hal itu.
Sang Mama yang sampai kini masih berharap hal yang serupa, jika angan itu benar-benar kembali menjadi nyata. Serta sebuah mimpi terindah, yang juga pernah terbesit didalam benak seorang Aiyna.
Namun, sebuah fakta seolah kembali menampar keras dan berusaha menyadarkan mereka. Jika hal itu.... memang mustahil adanya.
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...