"Mas Wildan..."
Nadhira terus memanggil dengan nada pelan, sejak tadi merasa cemas. Wajah pria itu kini tampak pucat, keringat dingin terus membanjiri pelipisnya.
Sejak semalam, Wildan tiba-tiba terserang demam, suhu tubuhnya meningkat, membuat Nadhira ketar ketir sendiri, karena pria itu tidak berhenti mengigau.
Nadhira menempelkan telapak tangannya dijidat sang suami, suhu panas masih begitu terasa. Padahal penurun demam sudah beberapa jam yang lalu ia berikan.
Wanita itu tampak semakin tak karuan, saat melihat beberapa ruam kemerahan bermunculan dibeberapa titik tubuhnya, seperti reaksi yang ditimbulkan karena alergi.
Jangan bilang Wildan memang tidak bisa memakan seafood? Apa jangan-jangan pria itu sakit karena sup kerang yang ia sajikan kemarin malam? Apa pria itu tetap memakannya setelah ia sendiri juga sudah tahu, jika itu akan menyakitinya?
"Masya Allah, rasanya enak sekali, Humaira. Saya tidak pernah merasakan masakan seenak ini sebelumnya."
Wildan selalu saja memuji masakan apapun yang Nadhira sajikan diatas meja, dengan raut antusias membuat kebahagiaan seketika terpancar dimata milik Nadhira. Ia merasa jerih payahnya dihargai dan tidak sia-sia.
Bahkan dua jempol milik Wildan yang selalu diberikan kearahnya saja sudah cukup membuat Nadhira lega. Kadang kala ia mencoba menemukan raut kebohongan yang tergambar diwajah milik Wildan, namun nihil, pria itu terlalu tulus jika dinilai hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya saja.
"Mas...."
Wildan perlahan mulai mengerjap.
Cairan infus kini juga sudah Nadhira pasangkan dipunggung tangan miliknya, membuat pria itu meringis pelan saat menggerakkan tangannya.
"Katakan apa yang terasa sakit?" Wanita itu akan kembali menangis.
Melihatnya Wildan tersenyum kecil. "Jadi begini rasanya bisa dirawat sama dokter pribadi?" Ia terkekeh, karena terkadang juga sering terlupa jika Nadhira adalah seorang dokter.
Namun, kontras sekali dengan wajah Nadhira, wanita itu malah memukul lengan Wildan cukup keras. Sejak tadi ia merasa sangat cemas, namun kini malah dibalas dengan wajah cengengesan tak jelas yang membuatnya semakin kesal.
"Hey?" Wildan seketika bangkit, karena sekarang wanita itu jadi terisak.
"Kenapa masih dimakan?" tanyanya parau.
"Ha?"
"Mas alergi sama kerang kan? Udah tau, tapi kenapa tetap dimakan! Kenapa Mas rela nyakitin diri sendiri cuma mau buat Ira bahagia?! Apa Mas pikir Ira terlihat pantas dikasihani, hingga sampai sebegitunya?"
Wildan sesaat terdiam.
Baru kali ini ia lihat wanita yang selalu berucap lembut itu membentak dengan sedikit kasar, bola matanya berair, saking takutnya hingga gemetar.
Secara mendadak Wildan jadi sedikit gelagapan. "Tidak, Ira ... Mas kemarin juga lupa, karena saking enaknya." Jawabannya disertai cengir khas seperti biasa, menenangkan, lalu memegang kedua tangan istrinya.
Nadhira ingin sekali kembali memukul kepala pria itu karena masih bisa tersenyum manis disaat seperti ini. Tampak sekali bucin akutnya.
"Atau kita ke rumah sakit aja ya?" Bujuk Nadhira, masih khawatir.
"Untuk apa? Mas kan udah ada dokter hebat di rumah," balas Wildan.
Nadhira lagi-lagi menghela nafas, bisakah pria itu mengerti bagaimana perasaan cemasnya saat ini?
"A-aduh..."
"Kenapa? Ada apa, Mas?? Perutnya sakit lagi?" Nadhira mendadak kembali dibuat khawatir, saat Wildan tiba-tiba merintih.
Namun bukannya menanggapi kekhawatiran Nadhira, pria itu malah menaruh kepala dipundak miliknya.
Sebelum menjawab dengan nada pura-pura lesu. "Iya, perutnya Mas masih sakit banget, sayang. Jadi pengen dielus kepala."
Wildan kembali cengengesan.
Ck, dasar bucinnn!!!
•••
"Saya tidak mengerti siklus kepribadian mu ini, Wil. Kemarin masam sekarang tampak mesem-mesem seperti orang tidak waras. Tapi sekali lagi saya ingatkan, bucinnya tetap dikondisikan."
Wildan hanya mencibirkan bibirnya. Seperti Satria tidak menyadari saja jika selama ini dirinya seperti apa. Sudah stadium tiga.
Datang-datang pria satu anak itu bukannya menanyakan keadaannya, ataupun sedikit prihatin, ia malah mengomelinya tanpa jeda.
"Sepertinya Wildan mulai ketularanmu, Mas."
Ucapan Aisyah semalam membuat Satria seketika geleng-geleng kepala, rupanya ia punya rival sekarang.
Rela sakit demi nyenengin ayang? Udah tau alergi tetap dimakan, seolah tidak mau melihat jerih payah sang Istri hanya di sia-siakan. Saking bucinnya!
"Sudah parah ini!" gumam Satria, merasa sakit kepala.
Wildan menaikkan sebelah alisnya, tak paham. "Apanya?"
Ah, sudahlah!
Satria malah mengusap wajahnya kasar, tak habis pikir. Jangankan untuk makan kerang, ia yakin makanan yang ternyata sudah tahu mengandung racun sekalipun akan tetap Wildan makan, asalkan itu Nadhira yang buatkan.
Rasanya Satria sadar, jika dirinya tidak sampai sebucin itu.
"Saya merasa tidak rela ingin melepasnya." Wildan menatap selang infus yang masih terpasang dipunggung tangannya.
Tuh kan! Pria itu tersenyum mengingat wajah khawatir Nadhira tadi, seperti sangat takut, seolah ia hampir saja akan mati.
Satria yang melihatnya seketika sudah angkat tangan, merasa menyerah.
"Sepertinya penyakit Aritmia yang kemarin saya ceritakan sudah sedikit bisa teratasi, Sat." Celetuk Wildan, masih setia mengulum senyum.
Satria menatap miris.
"Tapi sekarang kayaknya kejiwaaan saya yang mulai bermasalah." Tanpa diduga Wildan malah tertawa lepas diakhir kata, seperti menertawakan keadaan memperhatinkan dirinya akhir-akhir ini.
Iya, Satria juga tahu jika Wildan memang tidak pernah berpacaran. Tak pernah tertarik pada urusan percintaan. Sekali jatuh cinta langsung menikah, jadi tak heran mengapa pria itu tampak seperti sekarang.
Nadhira adalah jatuh cintanya yang pertama, dan mereka juga sudah berada didalam ikatkan yang sah.
Tak ayal saja ia tampak seperti anak ABG yang baru mengenal cinta dan mencoba berpacaran. Namun jelas berbeda, karena ini versi halalnya.
____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...