Wildan kira akan sulit untuk membuat Nadhira tersenyum. Karena sejak kecil sudah terbiasa dengan segala jenis kemewahan dan tumbuh dilingkungan keluarga yang berada. Namun, semakin Wildan mencoba mengenalnya, wanita itu tampaknya lebih menyukai hal-hal sederhana.
Melihat pemandangan indah dari atas villa, buah strawberry, semangkuk bubur kacang, atau kalung peninggalan Sang Bunda yang kemarin ia hadiahkan.
Setelahnya wanita itu bahkan tak henti memandang dengan senyuman, sebuah kalung liontin permata berwarna biru laut yang terpasang dilehernya. Seolah menganggapnya sebagai hadiah yang sangat istimewa.
Sejujurnya Wildan sedikit merasa bersalah terhadap sang Komandan, mungkin selama ini pria paruh baya itu selalu berusaha keras membesarkan putrinya dengan penuh perhatian dan serba berkecukupan.
Namun wanita itu selalu saja berusaha menenangkan, saat rasa percaya dirinya menghilang.
"Bahkan untuk tinggal dirumah ini bersama Mas saja sudah lebih dari cukup. Jangan terlalu dipikirkan."
Alasan yang benar-benar dapat kembali membangkitkan tekad dan rasa semangat bagi Wildan.
"Mas, sekarang katakan, apakah villanya sangat cantik? Taman bunganya juga luas sekali."
Wildan hanya tersenyum. "Ya, cantik sekali."
—Kamu dan pemandangan di villa ini memang terlihat seperti perpaduan yang sempurna, Nadhira. Sama-sama indah.
Manik mata wanita itu seketika berbinar cerah, antusias, "Apa kita beli saja villa ini sebagai tempat untuk menetap di hari tua?" Celetuknya, enteng.
Wildan seketika terkekeh mendengar balasan istrinya, "Humaira ... bukankah kita hanya sebentar saja ditempat ini? Lagipula villanya cukup terpencil dan jauh dari pusat kota. Tidak bagus jika dijadikan sebagai tempat menetap, akan susah jika terjadi apa-apa, apalagi untuk hidup dimasa tua."
Bahkan mereka baru saja menikah sebulan yang lalu, dan sekarang sudah merencanakan bagiamana menikmati hidup dimasa tua. Bukankah itu terlalu cepat?
Wanita itu selalu sukses membuat Wildan menahan senyum mendengar idenya yang ada-ada saja. Mulai dari membeli villa, atau menyewa pantai hanya untuk mereka berdua.
Jangan tanyakan bagaimana mereka berdua mudah sekali akrab. Bagi Nadhira, Wildan selalu saja membuatnya merasa nyaman. Begitu berbakat dalam menetralisir rasa canggung seperti pengantin baru lainnya, dengan sedikit gurauan serta canda tawa.
Setelah semakin mengenal, pria itu bukan lagi kaku ternyata hangat dan perhatian.
Nadhira bahkan tidak menyangka jika saat ini ia mulai merasa nyaman berada didekat pria itu.
Tak tahu saja jika sebenarnya saat ini Wildan memiliki seorang tutor yang handal dan terpercaya, Satria.
"Humaira..."
Nadhira yang tadinya asyik memotret panorama indah kebun teh dari atas villa, seketika mengalihkan pandangan kearah Wildan yang kini memakaikan jaket ke tubuhnya.
Pria itu sangat suka memanggilnya, dengan panggilan berbeda dengan yang sering orang lain gunakan. Dan setiap kali Wildan memanggil namanya, seolah ada hawa sejuk yang tiba-tiba berembus dan menerpa lembut wajahnya.
"Kenapa, Mas?"
Pipi Wildan memanas saat wanita itu mengalihkan pandangan kearahnya, semilir angin menerpa lembut jilbabnya, kemudian senyuman manis dengan kadar glukosa yang sudah tak terkira.
"Kamu tahu, Wildan, ucapan yang selalu menyenangkan perasaan wanita itu apa?"
Satria melihat kearah Wildan yang sejak tadi hanya menyimak, dengan raut penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Fiksi RemajaNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...