Kata orang, rasa bahagia itu cukup berawal dari hal-hal yang sederhana, yang mungkin akan menjadikannya istimewa.
Senyuman indah.
Tatapan teduh.
Pelukan ternyaman.
Panggilan sayang.
Ataupun melihat pemandangan indah, seperti laut dan senja.
"Eh, Mas?" Nadhira sedikit tersentak saat Wildan tiba-tiba memeluk tubuhnya dari arah belakang. Rupanya pria itu juga sekalian memakaikan sebuah kalung di balik jilbabnya.
Kalung yang kemarin juga sempat hilang, tak sengaja Wildan temukan terjatuh dari tangan Naren, saat dulu ia membawa tubuh anak itu ke rumah sakit.
Sebenarnya dari sana Wildan sudah menaruh curiga. Tentang adanya hubungan dengan anak yang ia kira merupakan hasil pernikahan baru Nadhira.
Terlebih setelah melihat kalung itu berada digenggaman tangan mungil Naren. Namun, Wildan takut harapannya itu akan patah, disaat memang belum dipastikan kebenarannya
Wildan tersenyum, akhirnya kalung itu bisa kembali lagi kepada sang pemilik, dengan ia sendiri yang memakaikannya. Seperti saat awal ketika dulu Wildan menghadiahkan benda itu pada Nadhira.
"Ternyata sama Mas?" tanya Nadhira, tampak tak mengira, jika kalung itu sekarang bisa kembali ketangan Wildan.
"Mas tidak menyangka kamu masih tetap akan menyimpannya," balasnya.
Bagi Nadhira, kalung itu memang benar-benar berharga dan harus dijaga.
Bahkan saat kemarin harus hilang, Naren benar-benar merasa menyesal dan memutuskan untuk mendapatkan kalung itu kembali agar sang Mama tak bersedih. Wildan dapat melihat semuanya, saat kemarin juga diam-diam mengekor langkah Naren dari arah belakang.
"Mama lihat Kak Aiy nih!"
Dari arah kejauhan anak kembar itu terlihat bermain dibibir pantai, dengan Naren yang barusan berteriak, mengadu.
"Naren, jangan terlalu banyak berlari!" ujar Nadhira kembali mengingatkan bungsunya itu.
Bahkan masih ada perban yang melilit kepalanya dan belum dilepas. Namun bukanlah Naren namanya jika sehari saja bisa diam, kalem, dan tidak banyak tingkah.
"Jadi keinget sesuatu ya?" celetuk Wildan tersenyum tipis, membuat sang istri kembali menatapnya. Mendadak nostalgia.
Wildan terkekeh, mengingat waktu dulu, di tempat yang sama, mereka juga pernah berlari-lari kecil, seperti halnya Aiyna dan Naren saat ini.
Wildan kemudian berjalan mendekati mereka, dengan Nadhira yang ikut menyusul dibelakangnya. Wanita itu tampak memegangi floppy hat yang ia pakai agar tak tertiup oleh angin berembus cukup kencang.
Di sana Wildan terlihat mengangkat tubuh mungil Naren dipundaknya, membuat wajah anak itu yang tadinya cemberut, kini malah cekikikan saat diajak juga sang Papa berlari-lari kecil, lalu bergantian dengan Aiyna.
Nadhira hanya tersenyum kecil melihatnya.
Tawa Aiyna juga sangat lepas di sana, putri sulungnya yang biasa terlihat lebih tenang dan dewasa, kini juga bisa bertingkah seperti anak kecil pada umumnya saat berada di dekat sang Papa.
"Mama juga mau digendong sama Papa?" tanya Naren, seketika membuyarkan Nadhira yang masih tercenung disana.
"Eh?" Wanita itu tiba-tiba tersentak, saat Wildan juga menghampirinya kemudian mengangkat tubuhnya ala bridal style.
Tanpa aba-aba, dibawa menuju air laut yang mulai pasang, sebelum Wildan turunkan, membuat gamis yang dipakai wanita itu seketika jadi basah.
"Mas, kamu ya!" ujarnya, geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
