Selama Wildan mulai pergi bertugas, Nadhira menjalani aktivitasnya seperti biasa sebagai dokter disalah satu rumah sakit ternama milik keluarganya.
Sebagai salah satu dokter muda yang pernah mengambil vakum sementara, setelah belum sampai satu tahun dilantik secara resmi dengan sumpah profesi.
Dulu Nadhira pernah memutuskan untuk mengabdi menjadi relawan selama kurang lebih satu tahun diwilayah konflik Timur Tengah, pengalaman singkat yang begitu berharga. Ada banyak hal yang ia amati, pelajari, lalu ia abadikan lewat sebuah tulisan.
Wanita itu jadi merindukan momen ketika ia dengan antuasias membagikan banyaknya pengalaman hebat itu pada sosok pendengarnya yang paling setia, Wildan.
Tak terasa sudah hampir dua bulan yang lalu sejak pria itu pamit untuk pergi bertugas. Dan perasaan rindu itu, Nadhira rasa perlahan semakin membelenggu.
Saat ini, Asma sudah melahirkan anak keduanya dengan Kak Azzam, yang berjenis kelamin perempuan bernama Aliza.
Perasaan yang begitu menyiksa harus dirasakan oleh Asma namun masih terus dipaksa bersabar dalam penantian, karena sampai saat ini Kak Azzam belum bisa pulang, untuk menemui putri kecil mereka yang baru saja lahir.
Aisyah yang saat ini juga kembali mengandung. Banyak waktu yang Nadhira habiskan berdua dengan sahabatnya itu, mengobrol tentang kenangan mereka saat dulu berkuliah dan suka dukanya mengenyam pendidikan jauh dari tanah air. Sekalian menemaninya agar tidak terlalu merasa kesepian.
Bagaimana perasaan jika Sang suami yang tengah berada di tempat antah-berantah sulit dihubungi, dengan berjuta pikiran buruk yang selalu membayang di kepala. Pada akhirnya hanyalah kesabaran yang akan menjadi kunci terbesarnya, selain kata setia.
Kadang juga Fatimah sering mengunjunginya. Selain mengajarinya memasak, wanita itu juga menceritakan banyak hal tentang masa kecil seorang Wildan.
Senyuman dari wajah teduh itu benar-benar tidak pernah bosan untuk ditatap, bukan hanya tampak awet muda, di sana selalu tersirat aura kelembutan, ketulusan, serta kasih sayang.
Sosok malaikat tak bersayap yang Wildan panggil 'Bunda', menjadi salah satu sumber kebahagiaan baginya di dunia, selain Nadhira.
Bagi Fatimah, Wildan selalu terlihat seperti seorang anak kecil dimatanya. Lupakan seberapa berwibawa dan garangnya dia ketika diluar. Pria itu sejak dulu sampai sekarang akan menjadi sedikit manja ketika berada didekatnya.
Dulu Fatimah bahkan tak bisa rela dan melepaskan anak itu yang mengutarakan keinginannya menjadi seorang prajurit tentara, ia takut tugas itu terlalu berat dan membuat putranya terluka, terlebih panggilan tugas yang akan membuat ia tak bisa untuk selalu berada dekat, di sisinya.
Namun setiap kali Fatimah ragu akan hal itu, Wildan selalu berkata,
"Semua orang itu sudah memiliki takdirnya masing-masing, Bunda. Masuk tentara bukan berarti Wildan sudah harus menaruhkan nyawa disana. Kalaupun itu memang menjadi jalan kematiannya Wildan. Apa nantinya Bunda ga bangga, punya anak yang gugur sebagai putra terbaik bangsa?"
Saat itu juga Fatimah tersadar jika sosok putranya itu sudah dewasa, dan tumbuh begitu persis seperti Ayahnya.
Kelembutan.
Perhatian.
Serta senyuman yang begitu sama.
Membuat Fatimah tak henti memandang tubuh tegap dengan balutan seragam tentara dengan tatapan haru sekaligus bangga.
•••
Mas Lettu👮♡
Mas sudah sampai dengan selamat ditempat bertugas
Mungkin setelah ini akan sangat sulit untuk kembali menghubungi kamu
Sampai jumpa lagi dirumah
Mas akan pulang
ILY full Ibu negara❤️
----
Lagi-lagi Nadhira hanya dapat menghela nafas, saat kembali membaca beberapa pesan terakhir sang suami. Terlihat juga jika pesan balasannya, sampai sekarang masih centang satu.
Sejak dua bulan yang lalu, dan komunikasi mereka juga sudah benar-benar terputus sejak saat itu.
Kini bukan lagi suara candu milik Wildan yang kini Nadhira dengar, melainkan suara Mbak-mbak operator yang malah membuatnya berkali-kali menghela nafas gusar.
"Wajah kamu terlihat sedikit pucat, Ra."
Nadhira seketika menoleh menyadari kehadiran seorang wanita yang memakai luaran snelli sepertinya, dengan name tag KARTIKA.
"Sepertinya kamu mengalami dehidrasi dan kelelahan. Istirahat saja dulu." Sambungnya.
Nadhira mengangguk, kemudian bangkit dari duduknya. Namun, secara spontan ia memejamkan mata, saat pandangannya mulai berkunang-kunang, dan kepalanya terasa sangat pusing. Ah, akhir-akhir ini ia memang sering merasa tak enak badan. Mungkin benar-benar karena kelelahan, dan drop karena faktor banyak pikiran.
"Ra, kamu beneran gapapa?" Kartika ikut berdiri cemas dan menopang tubuh Nadhira yang terlihat oleng.
Detik berikutnya pandangan Nadhira benar-benar menghitam, ia tak tahu lagi apa yang terjadi, hingga kemudian tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan.
Bruk!
"DOKTER IRA!!" Beberapa perawat yang melihat juga ikut berlari menghampiri mereka.
"Tolong bantu bawa keruangan saya!" Titah Kartika cepat.
"Baik, dok."
•••
Saat Nadhira terbangun, ia sudah berada didalam ruangan serba putih, pandangannya masih sedikit kabur, ia meringis menyentuh kepalanya. Ia lihat punggung tangannya juga sudah terpasang selang infus.
"Ra?"
Mata Nadhira masih mengerjap beberapa kali, ingin melihat lebih jelas sosok wanita yang duduk didekat ranjangnya.
Itu adalah sahabatnya, Aisyah.
"Alhamdulilah, akhirnya kamu sudah sadar," ujarnya menghela nafas lega, setelah tadi merasa sangat khawatir.
Wanita itu kemudian membantu Nadhira untuk duduk masih dengan tersenyum lembut. "Kamu tadi pingsan, karena kecapean dan mungkin juga faktor kehamilan kamu."
"Hm?" Nadhira mencerna.
Klek!
Tak lama kemudian, pintu ruang rawat terbuka, menampilakan sosok Kartika yang terlihat geleng-geleng kepala.
"Jadi kamu sama sekali belum ngecek, Ra? Apa kamu ga pernah merasakan tanda-tanda, atau keanehan yang mungkin selama ini kamu alami?" tanyanya.
Kemudian menyodorkan sebuah surat hasil pemeriksaan dari spesialis obgyn pada Nadhira. "Kandungan kamu bahkan udah jalan lebih dari delapan minggu." Terangnya.
Tis!
Air mata Nadhira seketika meluruh saat mulai membaca surat keterangan ditangannya.
"A-alhamdulilah."
Kalimat hamdalah itu akhirnya terucap dari bibirnya, bergumam tak cukup hanya satu kali, kemudian mengukir senyuman, saat meraba perutnya yang masih datar.
Bulir bening itu masih terus mengalir, penuh haru. Lalu berganti menatap sahabatnya.
"Ais..."
"Barakallah, Ira!"
Aisyah kemudian juga memeluk erat sahabatnya itu, setelah Kartika juga sudah berucap selamat. Ikut merasakan kebahagiaan yang sama.
Cepat pulang ya, Mas. Ada hadiah istimewa buat kamu yang ikut menanti disini.
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Fiksi RemajaNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...