Wildan masih belum berhenti menatap sosok anak perempuan berwajah manis disampingnya itu.
Setelah diperhatikan lebih lama ia merasa terdapat kemiripan dengannya, bukan hanya dilihat dari iris berwarna kecoklatan mereka.
Aiyna tiba-tiba menoleh, membuat pria itu sesaat kelabakan. Sebelum memberikan senyuman tipis, sehingga memaksanya ikut memberikan hal yang serupa.
"Siapa namamu?" tanya Wildan.
"Aiyna."
"Tidak, nama panjangmu?"
"Wafda Aiynara Putri Pangestu," balasnya.
Tidak salah lagi.
Sebuah senyuman kini semakin terbit diwajah milik Wildan, saat kemudian mengelus pucuk kepala anak itu yang tertutup oleh jilbab, ingin mencoba menenangkannya.
Pintu ruang ICU yang mereka nantikan akhirnya terbuka, kembali menampilkan sosok Kartika yang mengehela nafas menatap Nadhira yang juga dengan cepat bangkit menghampirinya.
Akan tetapi kali ini ada yang menjadi salah fokus dari dokter spesialis bedah itu, adanya tambahan seorang pria yang duduk dikursi tunggu itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Tik?"
Sebelum kemudian kembali dibuyarkan oleh suara serak Nadhira yang bertanya. Hampir saja ia melupakan hal penting karena melihat sosok penampakan disekitar mereka.
"Keadaannya kritis," ucapnya.
"Maksud?" Nadhira seakan menolak untuk paham.
Kartika kembali menjelaskan. "Rupanya memang benar, Nadhira, terdapat pendarahan cukup serius didalam kepala Naren, sehingga sesegera mungkin harus dilakukan prosedur bedah. Kita juga kembali membutuhkan beberapa kantong darah, yang sayangnya sudah tidak ada lagi persediaannya dirumah sakit ini, golongan AB." Terangnya.
Sendi kaki Nadhira tiba-tiba lemas, kondisi wanita itu tampak kembali kacau dengan kembali terisak, sebelum dibantu oleh Aiyna untuk kembali duduk.
"Ambil punya Kak Aiy aja, Mama. Golongan darah Aiy kemungkinan sama kayak Naren kan? Karena kita kembar," ucap Aiyna segera.
"Sekalipun sama, tetap ga bisa karena Aiyna juga masih dibawah umur, sayang," balas Kartika memberikan pengertian, setelah sedikit merendahkan badannya.
Tangis dari gadis kecil itu kini kembali pecah, karena merasa tidak dapat berbuat apa-apa saat adik kembarnya berjuang melawan maut didalam sana.
Sebagai seorang Kakak ia seharusnya memang lebih bisa melindungi dan menjaga adiknya, bukan malah membiarkannya terluka.
"Biarkan saya yang mendonorkan darahnya. Golongan darah saya AB."
Pandangan ketiganya seketika kompak melihat kearah Wildan yang barusan menyahut.
"Kenapa?" tanya pria itu, merasa ditatap sedikit aneh.
"Astaga...." Terlebih Kartika yang saat ini merasa ingin semaput duluan. Jadi pria yang dilihatnya sekarang benar-benar manusia, bukanlah sekedar arwah penasaran ataupun sejenisnya?
Sepertinya ia benar-benar butuh pencerahan secepatnya dari Nadhira, meskipun sekarang memang bukanlah waktu yang tepat untuk berkisah.
•••
Wildan menggenggam tangan istrinya itu dengan erat, mencoba menenangkannya. Wanita itu sejak tadi belum berhenti menitikkan air mata, dengan bibir yang bergumam melafalkan doa, sejak operasi yang sudah berlangsung lebih dari satu jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...