"Humaira..."
"Hm?"
Nadhira yang tadinya akan memejamkan mata, hanya menyimak suaminya yang memang hobi sekali membuka pembicaraan random secara tiba-tiba.
Wildan yang telentang dengan menatap langit-langit kamar, kini merubah posisi menghadap Nadhira yang berbaring tepat disampingnya, merasa tak ada lagi jawaban selain hanya sebuah dehaman.
"Udah tidur ya?" tanya Wildan.
"Belum." Amat pelan.
Entah kenapa malam ini giliran Wildan yang begitu antusias bercerita. Padahal sebelumnya, Nadhira lah yang biasanya berbagi semua pengalaman pada Wildan yang seolah tak pernah ada habis-habisnya.
Mungkin karena terlalu kelelahan, detik berikutnya suara dengkuran harus itu perlahan mulai Wildan dengar. Rupanya seperti biasa, wanita itu kini kembali tertidur lebih dulu.
Wildan tersenyum, mengamati wajah damai milik wanita itu. Namun tiba-tiba yang terbayang dibenaknya saat ini, pertanyaan Galahan tadi.
"Kamu yakin tidak akan diikutsertakan dalam misi itu kan, Wil?"
Saat Galahan bertanya demikian, Wildan dapat melihat sebuah kekhawatiran. Dan kini perasaan itu jugalah yang Wildan rasakan. Setelah tadi, ia mendapat panggilan untuk segera menghadap Danyon besok.
***
Tak terasa usia pernikahan mereka sudah berjalan lebih dari lima bulan. Meskipun beberapa kali juga sering terjadi perbedaan pendapat yang menyebabkan perdebatan kecil selayaknya rumah tangga pada umumnya, namun semuanya tidak pernah berlangsung secara lama.
Sifat dewasa Wildan yang memilih saling memahami dan mengalah, serta Nadhira yang berusaha untuk mengontrol egonya, memecahkan permasalahan dengan kompromi dan mengambil jalan tengah.
Kapal mereka yang kadang kala mulai oleng, dengan cepat akan kembali stabil dan seimbang, untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tak pernah hampir terjatuh apalagi tenggelam.
Sejak kemarin Fatimah menginap dirumah mereka, setelah Wildan meminta sang Bunda untuk menemani Nadhira yang merasa tak enak badan, saat ia berada tak berada dirumah.
"Mau dibantu, Bunda?" tanya Nadhira.
"Istirahat aja, Ra. Biar Bunda yang akan masakin," ujar Fatimah lembut, melihat sang menantu yang menghampirinya di dapur dan berniat akan membantunya.
Nadhira kemudian terpaksa duduk, setelah Fatimah menyuruhnya untuk duduk, dikursi yang kebetulan berada tak jauh dari posisinya semula berdiri.
Nadhira tersenyum, ia bersyukur memiliki banyak orang yang perhatian padanya, terlebih Fatimah yang juga sudah menganggapnya bukan sebagai menantu melainkan putrinya sendiri.
Sejak awal mereka menikah Fatimah bahkan selalu berpesan agar ia tidak pernah sungkan untuk meminta bantuan, ataupun melaporkan padanya jika Wildan malah berbuat buruk atau macam-macam.
"Nadhira ga usah khawatir. Kalau Bunda tarik kupingnya, anak itu pasti langsung kapok."
Nadhira rasanya ingin sekali tertawa melihat wajah suaminya seperti anak kecil yang amat penurut dihadapan sang Bunda. Bahkan lebih banyak menunduk dan tidak banyak tingkah, saat wanita paruh baya itu mulai berbicara dan menasihatinya.
Lebih dari itu, Fatimah rupanya begitu berhasil dalam mendidik putranya. Nadhira amat bersyukur dapat mengenal madrasah pertama bagi suaminya, dan sosok Wildan yang hadir di hidupnya sekarang adalah berkat perjuangan dari wanita tangguh seperti Fatimah, yang bahkan sejak bayi membesarkannya sendirian tanpa seorang suami yang menemani.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
