Delapan hari kemudian.
Sepasang netra tajam milik pria paruh baya itu tak henti memandang kearah lautan lepas yang masih terlihat bergelombang setelah semalam diterpa hujan badai.
Bahkan sudah lebih dari sepekan, pencarian itu masih tetap belum membuahkan hasil yang memuaskan. Keberadaan salah satu prajurit terbaik itu sampai kini belum ditemukan.
Wajah yang biasanya selalu nampak tegas dan berwibawa itu, juga tak bisa untuk terus dipaksa agar tetap tegar. Raut kehilangan benar-benar tercetak di wajah milik sang Jenderal.
Para bawahannya meminta agar ia tidak perlu susah payahnya turun tangan langsung dalam proses evakuasi korban, namun rupanya tidak, pria itu bertindak demikian bukan sebagai seorang perwira tinggi yang hanya memantau dan memerintahkan para bawahannya.
Melainkan seperti seorang Ayah yang ingin menemukan kembali putranya yang sampai kini masih hilang dan keberadaannya belum kunjung ditemukan.
Setelah berkecimpung selama lebih dari puluhan tahun di dunia militer, Galahan seharusnya sudah sangat mengerti akan situasi ini. Namun, bolehkan sedikit harapan itu masih ada? Saat pilihan terakhir adalah pasrah, menyerahkan kepada takdir terbaik yang ditulis oleh Sang Maha kuasa.
Galahan masih memikirkan, bagaimana hancurnya perasaan putrinya yang masih setia menunggu sebuah kabar dirumah. Ia juga tidak ingin cucunya nanti akan terlahir tanpa adanya seorang Ayah.
Rasa sesal dan bersalah itu kini benar-benar kembali dirasa, namun Galahan tahu jika hal itu tidak akan ada gunanya.
"Diperkirakan akan kembali terjadi badai susulan, gelombang air laut semakin pasang. Terlalu berbahaya jika tetap bertahan, dan memaksakan upaya evakuasi korban."
"Apa itu artinya proses evakuasi harus segera dihentikan?" tanya Galahan menoleh pada salah satu perwira menengah Angkatan Laut yang kini menghampirinya.
"Setidaknya setelah kondisi ekstrem dan cuaca buruk kembali memungkinkan untuk kembali berlayar," balasnya.
"Bahkan saat masih ada korban yang sampai sekarang belum ditemukan?" lanjut Galahan dengan mata menajam.
"Izin, mungkin itu memang mustahil, Ndan. Bahkan sudah lebih dari jangka waktu diawal, kemungkinan terbesar upaya pencarian harus segera dihentikan meskipun masih satu korban yang sampai sekarang masih dinyatakan hilang. Kita juga harus mengantisipasi keselamatan tim evakuasi, dan adanya korban tambahan."
Nafas Galahan seketika memburu. "Jadi menurutmu satu korban itu tidak akan pernah bisa ditemukan, Letkol?!"
"M-maaf..."
Galahan melemaskan kepalanya erat tangannya, matanya memerah. Sejenak ia menatap kearah lain kemudian menunduk, punggung tegapnya bergetar. Tidak seperti biasanya sekarang pria baya itu benar-benar tampak hancur, bahkan saat dihadapan bawahannya.
Asad, putramu ... dia benar-benar berhasil mengikuti jejakmu dan menjadi seorang prajurit yang tangguh.
Lalu, apa sekarang dia juga harus memilih akhir hidup yang sama sepertimu?
•••
Azzam, pria gagah itu yang kini berdiri menundukkan kepala, tangannya mengepal dengan erat, dadanya seolah terhimpit batu besar, hingga terasa sangat sesak.
"Saya titip adik saya, Wildan, bahagiakan dia. Karena kamu adalah orang pertama yang akan saya cari, jika nanti dia sampai menangis atau terluka."
Azzam juga baru saja mendengar kabar jika adik perempuannya itu tengah mengandung.
Sejak dulu ia tidak pernah bisa melihat adik kecilnya terluka. Nadhira terlihat kuat namun nyatanya ia terlalu rapuh.
"Dimana kamu sebenarnya bersembunyi, Wildan?! Tolong jangan terlalu lama, adik saya juga sudah menunggu dirumah." Tangan semakin terkepal erat.
Cuaca buruk membuat penglihatan menjadi pendek.
Beberapa kapal kecil serta kapal pesiar masih berlayar, mencari satu lagi raga yang masih disembunyikan oleh lautan.
Lautan yang semula damai dan tentram, hal yang begitu ia sukai sejak kecil bersama adiknya, Nadhira. Kini terlihat begitu ganas dan amat mencekam.
Kini Azzam sadari, lautan juga menyimpan penuh misteri. Ia tidaklah seindah yang terlihat dipermukaan.
Tenang, damai, warna biru serta kejernihan airnya, kontras sekali dengan kedalamannya yang belum dapat diperkirakan. Kali ini bahkan harus kembali menelan korban.
"Gelombang pasang serta badai mungkin membawa jasadnya ketempat yang lebih jauh, jika tidak tenggelam bersama puing pesawat, banyak Palung dalam serta belum terjamah sini."
"Jadi jika tidak dengan tenggelam, ya mungkin saja akan tergulung ombak lautan."
Mata tajam Azzam segera melihat kearah samping, beberapa bawahannya yang kini ikut berpatroli dalam proses evakuasi.
"Apa sebenarnya yang ingin kalian bicarakan, sialan?!" Bentaknya membuat anak buahnya itu gelagapan, saat Azzam menarik kearah bajunya.
"M-mohon izin, Kapten. Kami hanya berasumsi, jika sangat mustahil satu korban itu masih selamat sampai sekarang."
Bugh!
Satu pukulan itu berhasil Azzam layangkan diwajah bawahannya itu hingga membuatnya jatuh tersungkur.
Beberapa prajurit yang melihatnya, segera menghentikan mereka dengan menarik tubuh Azzam lebih jauh, dan menenangkannya.
"SIALAN!!"
Namun pria itu kini malah terduduk dengan posisi bersimpuh, sebelah kepalan tangannya memukul deck kapal beberapa kali. Sebelum menutup wajah dengan kedua telapak tangan yang bergetar. Putus asa.
Azzam juga sudah berjanji pada sang Bunda sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, agar selalu membuat Nadhira mereka tersenyum dan tertawa. Seperti ketika mereka dulu sangat sering bermain ditepi pantai.
Nadhira kecil yang begitu senang serta takjub melihat lautan biru luas sejauh mata memandang, ia amat menyukainya.
Dan sejak saat itu mulai tertanam tekad kuat didalam diri Azzam.
"Nanti Kak Azzam bakalan jadi salah satu prajurit gagah, yang akan menjaga lautan Indonesia, juga buat Ira."
Namun sekarang, lautan juga menelan seseorang yang amat adiknya cintai dan ia nantikan untuk pulang.
Lautan lebih dulu memeluknya erat, mendahului Nadhira yang masih menunggu disana dengan beribu harapan dan penantian.
Dan lautan jugalah, yang mengapa kini begitu kejam. Menjadi saksi bisu dari beberapa prajurit terbaik yang telah berhasil menyelesaikan tugasnya.
Lautan.
Ia tampaknya juga ingin dijaga, selama-lamanya.
Memilih salah satu diantara mereka, dengan menelannya amat dalam.
________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
