"Istrimu sudah dikasih tahu, Wil?"
Wildan menoleh sekilas pada Satria yang berada tepat disampingnya, kemudian menghela nafas berat.
Satria yang paham hanya geleng-geleng kepala, sudah ia duga.
Keduanya kini masih berada di lapangan tembak, setelah sesi pelatihan sudah usai beberapa menit yang lalu.
Wildan kembali memasukkan beberapa peluru kedalam pistolnya, sebelum kembali ia angkat dan diarahkan pada sasaran dengan jarak 25 meter.
Mata tajamnya mulai membidik.
Fokus.
Dor!
Tembakannya benar-benar akurat.
Satria akui sejak dulu mereka masih menjadi taruna, Wildan lah yang memiliki kemampuan menembak terbaik yang tak dapat bisa dipandang sebelah mata.
Peraih lulusan terbaik dengan gelar Adhi Makayasa, yang begitu diincar oleh para perwira tinggi untuk dijadikan sebagai ajudannya, tak terkecuali Galahan yang bahkan begitu menyayangi Wildan seperti putranya sendiri.
"Wildan..."
"Tolong, Sat. Saya juga ga tau harus berbuat apa." Potong Wildan, segera menghentikan sahabatnya itu.
Keduanya kemudian duduk, menetralkan deru nafas. Beberapa menit berlalu pandangan mereka hanya terfokus kearah depan.
Setelah cukup tenang, Satria kemudian menyodorkan sebotol air mineral kearah Wildan yang spontan menolak. "Ga usah."
Tampak sekali jika pikirannya sedang kacau.
"Istighfar, Wil." Satria menepuk pundak itu beberapa, membuat Wildan kembali menatap kearahnya, kemudian menunduk.
"Bukan hanya Nadhira, tapi juga Bunda. Saya ga tahu gimana cara bilang ke mereka kalau---" ucapan Wildan terpotong.
"Kamu akan ditugaskan memimpin salah satu pasukan yang akan diberangkatkan ke pulau Tirote?" tanya Satria.
"Ga akan semudah itu," balas Wildan, dengan wajah setengah memelas.
"Ck, saya juga tahu." Satria berdecak diakhir kata, lalu meneguk sebotol air mineral ditangannya.
Setelah mengenal Wildan cukup lama, bahkan sejak mereka baru saja masuk menjadi seorang taruna di Akademi Militer. Satria paham bagaimana penolakan dari Fatimah, yang awalnya begitu menentang keras keinginan putranya menjadi seorang tentara seperti Ayahnya. Entah apa yang terjadi pada akhirnya restu itu berhasil Wildan dapat.
Saat keduanya dinyatakan lulus, karena permintaan sang Bunda kepada Galahan lah, akhirnya Wildan ditugaskan menjadi seorang ajudan. Karena jujur, Fatimah belum rela mengirim putra semata wayangnya itu ke medan pertempuran. Rasa trauma yang membekas dan menoreh luka teramat dalam. Bagaimana sebuah tugas yang menjadi penyebab seseorang yang amat ia cintai memilih berpulang.
Meskipun semua memang sudah menjadi takdir Yang Maha kuasa, namun Fatimah masih belum kuat untuk merelakan jika hal itu untuk harus kembali terulang untuk kedua kalinya.
Tidak perlu tanyakan lagi bagaimana kesediaan Wildan dalam memunaikan tugas, karena tentu ia akan selalu siap. Namun, ia tidak sanggup melihat dua wanita yang amat ia cintai itu merasa tersakiti.
Dimasa lalu Bundanya sudah banyak mengalami kehilangan sama halnya dengan Nadhira.
Bagaimana jika kepergiannya kali ini akan kembali mengingatkannya pada kenangan buruk dimasa lalu yang belum sepenuhnya menghilang?
Wildan khawatir. Namun, disisi lain juga tidak baik untuk terus menunda-nunda hanya karena kebimbangannya.
Sebelum Nadhira, setelah ini Wildan bertekad akan menemui langsung sang Bunda, untuk mencoba membujuk dan memberikannya pengertian, setidaknya beliau dapat sedikit tenang.

KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...