Walaupun hanya dapat melihat sang Papa dari foto dan gambaran yang selalu sang Mama ceritakan setiap malam.
Mereka tetap bisa membayangkan, kehangatannya mungkin tak akan beda jauh saat Galahan ataupun Azzam yang memeluk tubuh mereka. Usapan lembut dari Alif yang selalu berkunjung tiap akhir pekan, atau tatapan nan teduh milik Fatimah, yang menurut sang Mama mirip seperti Papa mereka.
Narendra juga menjadi bukti jika bayang-bayang seorang Wildan terlihat didalam dirinya tatkala ia tersenyum. Jadi tak heran jika apapun permintaan si kembar akan langsung dituruti oleh keluarganya, asalkan senyuman itu tidak sirna.
"Eyang disana apa kabal? Emang ga kangen cium pipinya Nalen? Udah lama Eyang ga ketemu Nalen sama Kak Aiy lho."
Saat itu juga Galahan beserta iring-iringan ajudannya yang setia mengawal, akan berangkat dari Jakarta ke Jogja.
Hanya untuk menemui kedua cucunya itu, walaupun disela-sela kesibukannya yang sekarang menjabat sebagai salah satu petinggi penting Angkatan Darat.
•••
"Mama bilang Abang dulu sering banget main sama Papa. Pasti seneng banget kan ya?"
Umar menoleh, mendapati anak perempuan yang lebih muda lima tahun darinya itu barusan berucap.
Aiyna tersenyum. "Adek pasti juga kepengen banget bisa main bareng, jalan-jalan, habiskan waktu. Terus Mama bakalan bahagia banget."
Mimpi yang indah sekali bukan?
Membayangkan saja Aiyna tak bisa, bagaimana melihat sosok wanita yang amat mereka sayangi itu tersenyum indah. Tanpa satupun beban, luka, dan air mata yang ia sembunyikan, hingga harus kembali berpura-pura.
Hampir setiap malam, Aiyna juga sering sekali mendengar adik kecilnya yang mengigau dan memanggil-manggil sang Papa, begitupun saat sakitnya. Naren memang sering sekali terkena demam sejak ia masih bayi, karena memiliki imun yang lebih lemah.
Umar hanya menghela nafas. Waktu memang cepat sekali berlalu.
Bocah lelaki yang mulai tumbuh remaja itu kini menunduk. Berbeda dengan waktu kecil, penuh warna dan amat ceria, ia rupanya menjelma menjadi anak yang sedikit keras, dingin dan tidak banyak bicara, seperti sang Ayah, Azzam.
Jadi benar kata sang Bibi jika gadis kecil itu sudah lebih dewasa dari umurnya? pikir Umar, setelah mengamati Aiyna lebih lama.
Berbeda dengan Naren serta adiknya, Aliza, yang masih kesetanan mandi hujan ditengah halaman rumah, masih belum ingin berhenti, mungkin sampai menunggu Nadhira dan Asma menarik telinga mereka.
Sejak tadi Aiyna terlihat lebih ingin menyibukkan diri membantu sang Mama dan Asma melakukan pekerjaan rumah, menyiapkan makanan, ataupun yang lainnya.
Hobinya juga membaca, belajar, bukan seperti Naren yang mencoret-coret tak jelas diatas kertas dengan krayon, jika tidak membuat seisi kamar berantakan dengan mainannya.
Kalem, tenang, tidak banyak tingkah
Aiyna begitu dewasa.
Seolah sepasang mata. Aiyna seperti sang Papa yang begitu perhatian dan lebih peka terhadap sekitarnya.
Aiyna lembut seperti Nadhira.
Seperti sosok Ibu kedua bagi adiknya, Aiyna tampak begitu bijaksana saat mengingatkan Naren jika ia berbuat salah.
Aiyna juga selalu membantu sang Mama membujuk adiknya yang menangis, menenangkan Naren yang selalu takut akan hujan dan petir.
Putri sulung yang memiliki bahu kuat, dan terlatih sejak dini agar menjadi pribadi yang lebih mandiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Roman pour AdolescentsNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
