"Humaira. Papa lebih sering manggil pakai nama tengah Mama kan?" tanya Aiyna setelah melihat ukiran nama di gelang yang selalu dipakai sang Mama.
Gadis kecil itu lalu duduk di kasur sang Mama, karena rencananya malam ini mereka akan tidur bersama.
Nadhira sedikit tak menyangka mendengar pertanyaan putrinya itu barusan, sebelum tersenyum getir. "Iya, sama halnya seperti nama Aiyna."
Gadis kecil itu hanya mangut-mangut, juga baru menyadarinya.
"Laut itu pasti punya banyak cerita sekali ya, Ma?" Celetuknya, melihat sang Mama melepaskan sebuah kalung dengan liontin biru laut itu lalu menaruhnya kedalam laci nakas, seperti biasa.
Meskipun penuh misteri dan tragedi, Nadhira masih tetap menyimpan kekaguman pada lautan.
Dulu saat mereka pernah menghabiskan waktu bersama di pantai, Aiyna pernah melihat sang Mama hanya diam memandang cukup lama hamparan laut yang luas membentang. Seolah ada banyak sekali kisah, sisa rasa, dalam nostalgia tak berkesudahan, yang tak akan pernah bisa diutarakan lewat kata-kata yang lebih sederhana.
"Laut memang tersimpan banyak cerita. Didalamnya juga ada beribu kenangan serta janji yang ikut lenyap dan tenggelam."
"Hm?"
Diakhir kata Nadhira mencoba tersenyum, sebelum mengelus lembut pucuk kepala putrinya.
Meskipun Aiyna masih belum mengerti apa maksud sebenarnya. Namun bisa ia tangkap dari wajah sang Mama yang tersenyum, disana ada sorot mata yang amat terluka.
Entah mengapa baru saja Aiyna sadari, jika salah satu bukti perempuan itu sebenarnya kuat, adalah Mamanya.
•••
"Nalen kan mau telul goleng ceplok, bukan telul goleng mata sapi!"
Pagi ini seperti biasa, anak itu kembali memulai sebuah keributan. Hanya karena perkara Nadhira yang salah menyebut nama nasi goreng yang tersaji diatas meja. Seharusnya kan nasi goreng telur ceplok, bukan nasi goreng dengan telur mata sapi. Meskipun sama saja, anak itu masih terus saja tak terima.
"Sama saja Naren," ucap Aiyna, ikut menghela nafas.
"Ihh, beda tau! Memangnya mata sapi boleh di maem? Nalen aja takut sama sapi." Terangnya.
Kalau begini, sudah panjang urusannya.
"Sehalusnya kan---huft." Anak itu spontan mendelik tajam saat mulutnya tiba-tiba saja lebih dulu disumpal menggunakan satu sendok nasi goreng.
"Pesawat tempur Kapten Naren sudah siap untuk meluncur." Nadhira mulai memainkan sendok agar anak itu mau makan. Terlebih waktu sudah tidak cukup, jika masih ingin melanjutkan acara ngembek-ngambekan.
"Akkhh..." Anak itu langsung membuka mulut lebar-lebar, bak anak burung yang tengah disuapi makan. "Hap!" Sendok itu kembali mendarat dengan mulus di mulutnya.
"Enak?" tanya Nadhira.
"Iya, telul mata sapinya enak!"
"Sudah Mama bilang kan?"
Anak itu langsung mengangguk, tiba-tiba antusias, karena nafsu makannya bertambah.
"Lagi, Mama ... mau lagi!" Pintanya, kembali membuka mulut lebar-lebar yang bahkan masih penuh terisi.
Nadhira terkekeh.
Dasar!
Aiyna hanya bisa geleng-geleng sendiri melihat kelakuan adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...