Malam ini seperti biasa setelah mengaji dan menyetorkan hapalan kedua anak itu sudah duduk bersila dihadapan Nadhira yang saat ini baru selesai merapikan tempat tidur mereka.
“Mama, celitakan!” Pinta Naren.
Nadhira terkekeh. Putra bungsu itu memang menjadi yang paling semangat untuk itu.
Kisah-kisah yang seolah dongeng penghantar tidur bagi mereka, kata-kata yang keluar dari bibir sang Mama membuat imajinasi yang seolah akan membawa pikiran mereka menjelajah.
Berharap kemudian terlelap dan bermimpi indah, bertemu sosok pria yang mereka rindukan, walaupun hanya sekedar menyapa lewat alam bawah sadar.
“Bukannya sekarang sudah terlalu larut, sayang?” tanya Nadhira.
“Dikit aja...” Si bungsu masih berusaha membujuk, kali ini dengan menunjukkan jari mencubit. Mau tak mau mengharuskan Nadhira menurut permintaannya.
Wanita itu ikut duduk, menatap bergantian wajah kedua anaknya. Setiap malam tiba, ia memang akan menceritakan betapa luar biasanya sosok pria, yang merupakan Ayah mereka.
Agar kedua anak itu mengerti, walaupun sosok ‘dia’ sudah pergi, entah itu sekarang atau nanti, rasa sayangnya yang besar kepada mereka akan selalu menetap disini, didalam hati.
“Kepribadian Papa mirip sekali kayak Kak Aiyna,” ujar Nadhira membuka pembicaraan.
“Kalau Nalen?”
Nadhira kembali terkekeh, berganti memegang kedua pipi berisi milik Naren yang tampak penasaran, “Senyuman kamu hampir sama persis kayak dia.”
“Wouh..."
Anak itu sampai bertepuk, kagum.
Mungkin setelah ini ia itu akan sulit tertidur, dan memikirkan keistimewaan wajah tampan sang Papa yang lebih menurun padanya.
Walaupun sifatnya juga, namun Nadhira tak ingin mengatakan bahwa Naren menuruni sedikit sifat petakilan dari Papanya, karena takut anak itu berdalih akan kelakukannya setiap kali diperingatkan.
Bahkan terbukti ketika ditanya mengapa ia selalu berbuat onar berbeda dengan Kakaknya yang penurut dan mengapa ia sangat nakal? Anak itu akan spontan mengatakan, “Bialin yang penting ganteng.”
Narendra adalah seribu akal yang membuat siapapun kadang kala angkat tangan dan menyerah saat melihat kelakuannya.
Malam semakin larut. Nadhira lihat tampaknya kedua anaknya itu mulai mengantuk, walaupun Aiyna masih mencoba setia mendengarkan dan memasang telinga, kisah yang keluar dari bibir sang Mama seolah tak pernah ada habisnya.
Nadhira tersenyum.
Mungkin kisah yang bisa ia ceritakan malam ini, hanya bisa sampai disini. Ia membawa tubuh mungil Naren yang sudah terlelap tenang, keatas ranjang.
"Kak Aiy juga, sudah waktunya untuk tidur." Titah Nadhira
Aiyna menurut dan ikut berbaring, saat Nadhira memberikan selimut, dan mencium pucuk kepalanya lembut.
“Mimpi indah, Tuan putri.”
“Mama juga,” balas Aiyna.
Senyuman Nadhira kembali terbit, melihat mereka yang sudah tidur diranjang masing-masing, sebelum mematikan lampu dan menutup pintu, dan keluar dari kamar.
Namun, berbeda dengan adiknya yang sudah berada di alam bawah sadarnya, pikiran Aiyna rupanya masih terus melayang-layang.
Pernah ia lihat, Mamanya itu sering menangis diam-diam ditepi ranjang, seperti saat tadi. Entah memegang sebuah surat, ataupun bingkai foto milik Sang Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Genç KurguNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, di mana letak rumah pulang sebe...
