✧When You Promise || 24✧

1.6K 119 0
                                    

"Naren sudah tertidur?" tanya Nadhira, melihat Azzam membawa si bungsu di gendongannya.

Anak itu tampak sudah tertidur sangat pulas, padahal belum waktunya makan malam.

"Hm, tolong berikan obat pereda demam, sepertinya dia akan kembali terkena flu," ucap Azzam, lalu menyerahkan tubuh mungil itu kepada Nadhira.

Benar saja, saat Nadhira meletakkan telapak tangannya didahi Naren, suhu tubuh anak itu sedikit meningkat.

"Nadhira..." Panggil Azzam, saat adiknya itu akan segera berbalik dengan mengendong Naren.

"Ada apa, Kak?" tanya Nadhira, kembali menatap sang Kakak.

Namun bukannya menjawab, pria itu hanya tersenyum tipis, bahkan nyaris tak terlihat. "Tidak jadi," balasnya cepat.

"Ah ya." Nadhira kemudian kembali berbalik dan berjalan menjauh darinya dengan sedikit heran.

Bagaimana keadaanmu saat ini, Ra? Kakak harap sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Azzam sebenarnya ingin sekali bertanya hal itu langsung lewat bibirnya, meskipun hanya mengetahui kabar Adiknya dan memastikan jika ia saat ini mulai baik-baik saja.

Walau mungkin belum sepenuhnya, hanya saja Azzam merasa lega, tatapan teduh milik Nadhira kembali ia dapati, bukan lagi sorot terluka yang lebih banyak menunduk kebawah.

"Mama ... mau Papa."

"Nalen mau ... Papa."

Saat Nadhira meletakkan tubuh Naren di kasurnya, anak itu masih terus saja mengigau, merengek-rengek seperti biasa.

Nadhira menghela nafas, anak ini memang sangat rewel. Terlebih saat sakit, semalaman bibir mungil itu tak akan berhenti meracau. Benar-benar mirip dan selalu mengingatkannya pada pria itu dulu saat sedang sakit.

Nadhira akan beranjak mengambil obat penurun demam di kamarnya yang tepat berada disebelah. Sebelum tangannya tiba-tiba dicekal oleh Naren yang kembali berucap, masih dengan mata terpejam.

"Mama .... kapan Papa pulang?"

Deg!

Nadhira hanya tersenyum getir, "Papa udah lama pulang, nak. Tapi sayangnya bukan buat kita."

Satu kecupan itu kemudian mendarat cukup lama di kening milik Naren. "Cepat sembuh ya, kesayangan Kak Aiy dan Mama."

---Meskipun Papa ga ada disini, Mama yakin rasa sayangnya buat kita akan selalu melekat abadi, di dalam hati.

•••

"Tidak terasa ya, sudah hampir enam tahun berlalu, Sa, sejak Abangmu pergi meninggalkan kita."

Fatimah berucap seraya tersenyum getir, menatap keponakannya bernama Aksa yang tersenyum hambar. Pagi ini ikut membantu sang Bibi disebuah toko roti yang baru dirintis kurang lebih dua tahun silam.

Fatimah merasa jika ia memang sedikit mengalami gangguan pada kejiwaannya,
setelah cukup merasa tertekan dalam waktu yang lama. Meskipun fakta pahit itu mau tak mau harus ia terima, namun mengapa ikatan batinnya seolah terus mengatakan jika sang putra masih hidup, dan bernafas hingga saat ini. 

Namun Fatimah tak ingin menjadi egois dengan terus-terusan hidup dalam belenggu angan dan penantian tanpa kepastian, dan mengatakan bahwa ia merupakan satu-satunya orang yang merasa kehilangan.

Menyadari jika semuanya memang sudah menjadi takdir yang Allah tetapkan. Walau nyatanya, memang perlu waktu yang tak sebentar bagi Fatimah agar benar-benar kembali bangkit seperti sedia kala.

Untung saja Aksa selalu berada disampingnya, menemani sang Bibi, dan mencoba menghiburnya dengan segala cara, meski baru tiga tahun yang lalu setelah ia dinyatakan lulus dari Akademi Kepolisian.

Aksa yang sejak kecil juga dibesarkan oleh Fatimah sejak kedua orang tuanya berpisah dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia kemudian ikut tinggal bersama Kakak sepupu yang selalu dapat memotivasinya, hingga ia ikut lulus seleksi dan kini menjadi seorang perwira Polisi.

Aksa tentu tahu bagaimana sang Bibi begitu menyayangi Kakak sepupunya itu. Tak ayal Fatimah kembali menjadi sangat hancur, tatkala putra semata wayangnya juga ikut menyusul mendiang suaminya yang gugur dan mendapatkan gelar anumerta atas jasanya sebagai putra terbaik bangsa.

"Kayaknya akhir-akhir ini rawan sekali terjadi kecelakaan, Sa. Kamu ga bertugas?" tanya Fatimah, menyadari kejanggalan itu.

Pemuda itu sontak saja gelagapan, "K-kebetulan lagi bukan jadwal tugasnya Aksa, Bi," jawabnya, sedikit terbata.

Mata Fatimah seketika memicing, curiga. "Kenapa Bibi perhatikan kamu jarang sekali pakai baju dinas, Sa? Kamu beneran bertugas sebagai Polisi lalu lintas kan?" tanyanya.

"Iyalah, kan sejak awal Bibi udah tahu," balasnya, meyakinkan. Maaf ya, Bi. Aksa harus bohong lagi. Batinnya merasa tak enak hati.

Tak tahu saja jika sejak awal, sebenarnya ia bertugas sebagai polisi di badan reserse kriminal. Namun sejak masuk Akademi ia meminta Kakak sepupunya untuk ikut merahasiakannya dari sang Bibi. Karena takut wanita itu akan khawatir, bahkan tidak akan mengizinkannya untuk menjadi anggota Polisi, sama seperti ketika ia melarang Kakaknya itu untuk menjadi seorang tentara.

"Ngomong-ngomong gimana kabarnya si kembar? Aksa dengar mereka udah mau masuk ke sekolah dasar." Aksa dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan.

Raut wajah Fatimah juga seketika berubah cerah. Kedua anak itu jugalah yang ikut menjadi penyemangat dan membantunya bangkit dari keterpurukan tanpa celah.

"Keduanya memang pintar sekali ya, Sa, Masya Allah." Membayangkan wajah menggemaskan kedua cucunya saja sudah membuat Fatimah senang. Aiyna yang manis sekaligus ramah, sedangkan Naren murah senyum dan ceria.

Bahkan diumur lima tahun cucu sulungnya, Aiyna sudah lancar membaca dan sekarang sudah banyak menamatkan buku bacaan ilmiah, anak itu amat tekun seperti Papanya.

Meskipun Naren juga ikut menuruni dari sisi lainnya, seperti sedikit tengil dan manja, layaknya sang putra yang dulu selalu jinak jika berhadapan dengan Fatimah. Si bungsu begitu mengingatkan pada Papanya waktu kecil, meskipun saat sudah besar pun, dimata Fatimah tetap menganggap putranya itu masih kecil.

Ah, mengapa ujung-ujungnya tetap membahas, dan mengingatkan Fatimah pada hal itu lagi.

Fatimah dengar bungsunya itu juga kembali terserang demam, membuatnya berniat untuk berkunjung dengan sekalian membawakan kue cokelat kesukaan mereka.

"Sore nanti Bibi berniat menemui mereka. Kamu mau ikut?" tanya Fatimah para Aksa yang mendadak terdiam.

Aksa ingin sekali, namun sayangnya sore nanti ia akan melakukan beberapa tugas penyelidikan pada pelaku tabrak lari beberapa waktu yang lalu.

"Kamu ada jadwal?" tanya Fatimah yang langsung menyadari itu.

Aksa menghela nafas gusar, padahal ia juga merindukan sensasi saat menguyel-uyel pipi tembam dan hampir tumpah milik Naren yang begitu menggemaskan.

Fatimah ingin terkekeh melihat raut wajah sendunya. "Lain kali aja udah. Bibi akan sekalian sampaikan salam kamu buat mereka."

"Iya, semoga aja waktu Aksa lagi ga bertugas ya, Bi," balas Aksa, penuh harap.

Dari arah kejauhan, terlihat seorang pria yang sejak tadi diam-diam mengamati mereka, kemudian segera melangkah pergi saat tatapan tajam Aksa tak sengaja mengarah padanya.

__________________

When You Promise (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang