✧When You Promise || 39✧

2.1K 133 1
                                    

"Allah aja Maha pemaaf lho, masa kita manusia enggak?" Naren semakin menunduk, saat sang Mama mencoba menasihatinya.

Malam ini, Azzam dan keluarga kecilnya kembali berkunjung ke rumah mereka, namun Naren terus saja berwajah masam. Tak seperti biasanya heboh menyambut Aliza yang juga datang, karena masih merasa tak suka pada kehadiran Pamannya itu.

Meskipun Azzam juga sudah mencoba membujuk dengan membawa buah tangan dan banyak mainan seperti kehadiran Alif yang selalu ia nantikan.

"Tapi Paman nakal, Mama. Paman juga seling banget malah-malah ke Nalen sama Kak Aiy juga, padahal dia ga salah. Hiks .... beda sama Abi, Paman ga sayang sama kita!"

"Kata siapa? Memangnya Naren bisa baca isi hatinya orang lain?" tanya Nadhira.

Naren mengigit bibir bawahnya. "Tapi---"

"Dulu memangnya siapa yang ngajarin Naren buat belajar sepeda?" Potong Nadhira cepat.

Anak itu menunduk. "Paman."

"Terus yang buat Naren ga takut lagi buat di suntik, biar imunnya tambah kuat dan ga sering lagi sakit?"

"Paman juga." Suaranya semakin mengecil.

Nadhira tersenyum. "Paman suka marah-marah karena bukti Paman sayang sama kalian. Mungkin caranya agak berbeda sama Abi dan Papa, tapi Paman juga ingin yang terbaik buat kalian. Paman ga nyuruh mandi hujan juga karena takut Naren bakalan kena flu. Paman diam-diam juga sering temenin Naren tidur waktu demam."

Mau bagaimanapun juga, Azzam merupakan pria pertama yang menggendong mereka saat keduanya terlahir ke dunia

Suara takbir menggema di kesunyian malam rumah sakit, saat Azzam yang memilih bergantian mengadzani dua malaikat kecil yang merupakan keponakan barunya.

Pria itu bahkan tak kuasa lagi menahan lelehan air matanya, saat lafadz terakhir adzan untuk bayi kedua yang masih harus berada di dalam inkubator.

Azzam jugalah yang selalu memberikan perhatian lebih kepada Nadhira saat dulu ia mengandung, disamping Galahan, Fatimah yang juga mencoba sama-sama menguatkan, serta Asma yang ia minta  agar lebih banyak menemani sang adik, takut terjadi hal diluar dugaan mereka.

Kakaknya itu memang selalu sungkan bahkan hanya untuk sekadar menanyakan kabar, namun sorot mata Azzam sejak dulu tak pernah bisa membohongi Nadhira.

Meskipun sifatnya berubah dengan sedemikian rupa, ia tetaplah sosok Kakak yang dulu bahkan pernah berbagi angan akan sebuah mimpi terindah, juga demi Adiknya, Nadhira.

Wanita itu kini menangkup lembut kedua pipi milik sang anak. "Nak ... rasa sayang itu disalurkan dengan cara yang beragam. Paman memang terkesan sedikit keras, karena dia ingin  mengajarkan dunia luar ga selamanya diisi oleh orang-orang yang akan senantiasa memperlakukan kalian dengan penuh kelembutan."

Naren kembali terisak, saat sang Mama peluk untuk kembali ditenangkan. "Jadi sekarang mau maafin Paman kan, anak baik?"

Anak itu kemudian mengangguk.

"Jadi senyum dulu dong. Bukannya kemarin Naren juga udah tahu tentang keutamaannya senyum, hm?" tanya Nadhira kembali.

"Senyum itu adalah sedekah yang paling mudah," balas Naren pelan, membuat sang Mama ingin terkekeh karena senyuman itu masih terlihat setengah terpaksa.

"Pintar!"

•••

"Nalen mau maafin Paman."

Azzam menghela nafas lega, sebelum menyentuh pelan kepala anak yang barusan datang kehadapannya itu dengan sedikit senyuman.

"Nalen sehalusnya juga minta maaf sama Paman kalena selama ini juga nakal." Lanjut anak itu semakin menunduk saat melanjutkan ucapannya.

Sebelum tubuh mungilnya itu Azzam angkat tanpa aba-aba, agar duduk di pangkuannya.

"Tidak apa-apa, Paman juga sadar terkesan berlebihan saat mengingatkan Naren," jawab Azzam.

Naren juga merasa baru kali ini juga wajah yang biasanya selalu tampil sangar itu terlihat lebih leluasa untuk bisa ditatap.

Setelah diperhatikan Azzam tak kalah tampan dengan Alif. Meskipun tetap Papanya yang lebih tampan, namun sedikit berada dibawah, jika dibandingkan dengannya.

Wildan yang melihat interaksi mereka hanya bisa menahan senyum, tentu selain Kak Alif, Azzam juga merupakan pria yang lebih lama bersama dengan anaknya, ia juga sangat berterima kasih karena keduanya telah bersedia menjaga mereka bahkan mengambil peran seorang Ayah saat dulu ia tak berada disamping mereka.

Namun kini pandangannya Wildan terfokus pada seorang remaja tampan yang sejak tadi juga diam-diam memandanginya dari kejauhan.

Rupanya benar kata Nadhira, waktu sudah cepat sekali berlalu. Anak kecil yang dulunya selalu heboh, ceria, penuh dengan canda tawa.

Anak yang dulunya juga sering sekali menghabiskan waktu bersamanya, mengaji, dan mendengar semua kisah darinya dengan tak pernah bosan, karena jiwa antusiasnya akan segala hal, yang membuat Wildan bahkan takjub.

Umar. Anak berumur lima tahun yang dulu mungkin hanya setinggi perutnya, kini sudah menjelma menjadi seorang remaja.

"Maaf ya, waktu dulu Paman tidak bisa pulang untuk menyimak hapalan Juz ‘Amma Umar sampai selesai," ucap Wildan, setelah menghampiri anak itu dengan senyuman getir.

Dan tidak tahu kenapa, benteng pertahanan dari remaja yang kini dikenal sedikit dingin itu seketika roboh, saat Wildan dekap tubuhnya. Juga merasakan aroma kerinduan yang luar biasa.

Wildan tersenyum, menepuk punggung itu beberapa kali, menenangkannya. Saat tangis remaja itu bahkan sampai terdengar sesugukan. Membuat Asma dan Nadhira yang melihatnya juga hampir menitikkan air mata, melihat pertemuan mereka kembali.

Umar juga menjadi salah orang yang selalu menanyakan kapan Wildan akan pulang, menantikan pria itu dengan raut wajah tak sabaran. Hingga tibalah hari, dimana ia juga diajarkan paksa arti dari kehilangan.

Ketika semua harapan berakhir angan, karena harus di patahkan. Dan sejak saat itu Umar merasa menyesal untuk terlalu berharap, karena rasanya amat menyakitkan bahkan tidak sanggup untuk dirasakan.

"Paman masih mau menyimak hapalan surah Umar sampai selesai?" tanyanya, masih setengah serak, setelah mereka melepaskan pelukan.

Wildan tersenyum kecil, sebelum mengangguk. "Tentu."

•••

"Abang Umar kan punya Adek, namanya Kak Aliza. Terus udah itu balu Kak Aiy, yang juga punya Nalen. Tapi kok, Nalen sendili ga punya Adek?" Si bungsu itu kembali mengadukan nasibnya.

Mengapa silsilah cucu keluarga Galahan Prameswara itu hanya berhenti sampai disana? pikirnya.

Membuat mereka spontan saling pandang. Alif bahkan ingin pura-pura wafat saja, saat pandangan mata seluruh anggota keluarga itu spontan mengarah padanya.

Kode keras!

"Naren mau makan kue hm?" Tawar Nadhira segera mengalihkan perhatian anak itu, karena tahu imannya pasti akan langsung goyah.

"Mauuu, Mama!!!" ujarnya antusias.

"Ikut Mama ke dapur aja yuk!" Anak itu langsung mengangguk, setuju.

Kue cokelat buatan Fatimah adalah yang terbaik. Buah tangan paling istimewa, karena di buat langsung dengan menggunakan resep cinta.

"Nalen juga mau susu, Mama! Bial nanti cepet gede," ucapnya, saat mulai mengekor langkah sang Mama ke arah dapur.

Nadhira masih terkekeh, sebelum sang anak melanjutkan ucapannya. "Nalen juga mau jadi Abang!!"

________________

When You Promise (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang