Sore.
Lalu lalang banyaknya mobilitas, para penumpang naik dan turun setelah sampai ditempat tujuan. Suasana terminal Bus menjadi sedikit lebih ramai, terlebih dimasa akhir libur tahunan.
Kaki itu akhirnya ikut melangkah turun, menangkap suasana yang tampak asing dan berbeda dimatanya.
Perkotaan.
Pria itu tampak sedikit linglung, sebelum berjalan dengan langkah cepat. Jujur ia sendiri belum tahu setelah ini dimana arah dan tujuannya yang sebenarnya. Merapikan topi yang ia kenakan, dengan pakaian yang terlihat sedikit lusuh, menenteng sebuah ransel menggunakan sebelah bahunya.
Bruk!
"Kamu punya mata ga?!"
Suasana menjadi sedikit ribut, di trotoar jalan terlihat seorang remaja yang tengah berlari, sehingga tak sengaja menabrak seorang pejalan kaki.
"COPETTT!!!"
"Woiii ... berhenti kamu!!!"
Dari arah belakang beberapa pria dengan langkah tergesa-gesa menyusul remaja yang kini kembali berlari.
Sosok pria yang masih berdiri diam, menonton, juga hampir terjatuh karena tiba-tiba ikut tertabrak, sebelum refleks meraba saku celananya, juga menyadari sesuatu yang hilang.
Jangan bilang....
Sesaat pria itu mencerna, menatap seorang remaja yang kini sudah berlari disana, semakin dikejar oleh banyak orang.
Haish.... rupanya ia malah ikut dijadikan korban. Membuatnya segera berlari, ikut menyusul gerombolan.
•••
Nadhira membantu putrinya itu yang tengah mengepang rambut panjangnya sebelum memakaikannya kerudung.
"Masya Allah, cantik sekali Tuan putri."
Pagi-pagi anak itu sudah siap, dengan seragam rapi. Tentu saja setelah libur panjang, ini merupakan hari pertama mereka masuk sekolah dasar.
Berbeda dengan si bungsu yang begitu sulit sekali dibangunkan, bahkan matanya masih terpejam saat Nadhira membantunya mandi, saat sarapan sudah tersaji teriakan itu terus saja terdengar membuat Nadhira geleng-geleng kepala.
Bagaimana caranya memakai dasi? Memakai ikat pinggang pun tak bisa. Serta heboh karena mencari dimana letak kaus kakinya yang hilang sebelah?
Anak itu terus saja merengek, masih ingin tetap kaus dengan motif superhero yang kemarin dibelikan oleh Alif untuknya, kekeh, tidak ingin yang lain lagi.
Membuat Nadhira akhirnya harus turun tangan ikut membantu mencarikannya. Lagipula kaos kaki itu sudah lama tak dipakai, membuatnya ikut lupa dulu meletakkannya dimana.
"Nanti kita beli lagi ya? Sekarang buat sementara pakai yang baru aja dulu." Aiyna ikut membujuk.
"Hiks ... ga mau, Nalen cuma mau yang itu." Anak itu menggosok mata menggunakan lengan kecilnya.
"Lihat, yang ga ada motif kayak Kak Aiy juga bagus. Naren kan udah mau besar," ucap Aiyna menunjukkan kakinya yang sudah terbalut kaus kaki putih polos.
"Emang Nalen udah kelihatan besal?" tanya anak itu kemudian.
"Iya dong," balas Aiyna.
"Apa kalena Adek udah banyak minum susu ya?" monolognya setengah samar, namun masih bisa didengar oleh sang Kakak dan Mama, membuat keduanya terkekeh.
"Mama Nalen juga mau pakai kaos kaki kayak Kak Aiy aja." Putus anak itu kemudian, mendadak berubah pikiran.
Fyuhh... akhirnya.
Nadhira segera menyuruh Naren duduk, membantu memakaikannya di kaki kecil itu.
•••
"Kakak tolong jagain Adek ya?" Pesan Nadhira, setelah mereka keluar dari mobil.
Wanita itu terlihat dengan stelan gamis berwarna abu masih dengan hijab syar'i. Penampilannya terlihat jauh lebih anggun, dan berkelas. Tipikal emak-emak kece yang menyetir mobil sendirian, mengantar kedua anaknya untuk pergi ke sekolah.
Rutinitas yang wanita itu lakukan setiap pagi selama lebih dua tahun ini. Walaupun Galahan sendiri sudah mempekerjakan seorang supir untuk sang cucu, namun menggandeng tangan si kembar melewati gerbang sekolah juga menjadikan kebahagiaan tersendiri bagi Nadhira. Melihat keduanya yang mulai tumbuh besar dan bersekolah.
Aiyna seketika mengangguk, mendengar ucapan sang Mama barusan, kemudian tersenyum saat kepalanya diusap pelan.
Walaupun hanya berjarak tiga puluh menit, bagi Aiyna kembarannya itu akan tetap menjadi adik kecil baginya. Naren yang bertubuh jauh lebih pendek dan mungil darinya, Adiknya yang selalu terlihat polos dan lugu.
"Cium Adek!" Titah Naren, membuat sang Mama seketika terkekeh, saat kemudian mencium pipi berisi bungsunya itu.
"Kakak juga mau dicium?" Tawar Nadhira.
"Tidak perlu, Ma---"
Namun tidak, Nadhira sudah lebih dulu mendaratkan ciuman di pipi sebelah kanan milik putrinya itu, membuat gadis kecil itu sejenak terpaku, kemudian tersenyum tipis.
"Mama ga usah khawatir, Aiy bakalan terus jagain Adek," ucap Aiyna kembali meyakinkan sang Mama.
"Nalen juga bisa jaga dili sendili, kan katanya udah besal, bukan anak kecil lagi!" ujar si bungsu merasa juga ingin dipercaya.
Nadhira spontan menyentil pelan kening milik Naren, membuatnya seketika meringis. Apa yang bisa ia lakukan saat berada di situasi terdesak selain menangis?
Nadhira bahkan sampai memikirkan, putra bungsunya itu bisa saja sampai diculik dan menurut untuk ikut saat di iming-imingi sebuah permen atau gulali.
Bocah itu layaknya barang antik, Nadhira benar-benar takut sampai dicomot seseorang karena pesona dan keluguan yang dimilikinya. Karena itulah, Nadhira selalu berpesan pada Aiyna agar setidaknya dapat mengawasinya. Si sulung itu terlihat lebih dewasa dan dapat ia percaya.
"Kenapa sih Nalen lahilnya belakangan? Coba aja kalau Nalen benelan jadi Abang. Nalen yang sehalusnya jagain Kak Aiy."
Saat keduanya berjalan menuju kelas, Naren terlihat tak henti menggerutu kesal, lalu mendengus diakhir kata.
Anak itu memang hobi sekali mengeluh untuk setiap hal. Mengapa ia pendek sekali? Mengapa ia cadel? Mengapa pipinya melar? Mengapa ia harus cengeng? Bahkan hanya perkara sepele saja anak itu tidak ingin bicara karena sedikit sensitif, juga keras kepala.
Suara helaan nafas kasar lagi-lagi kembali terdengar dari bibir mungil yang mengerucut itu. Aiyna bahkan sudah jengah sendiri mendengarnya. Pagi pagi wajah anak itu sudah tertekuk.
"Kita tuh seumulan ya!" Tegas Naren kemudian, karena merasa kesal setiap kali dianggap lebih kecil. "Cuma beda tiga puluh menit." Lanjutnya.
"Tapi tetap, Kakak lebih duluan melihat dunia," balas Aiyna, tenang.
Dari luar sifat Aiyna juga terlihat jauh lebih dewasa. Kakaknya akan selalu hadir setiap saat untuk menghibur sang Mama. Aiyna tidak cengeng seperti dirinya, ia pandai menyembunyikan rasa sedihnya, jika tak suka sering terlihat dari diamnya, kadang kala cukup dengan berkata,
"Kamu tidak mendengarkan Kakak, Naren?"
Naren akui Aiyna layaknya sebuah contoh yang membuatnya selalu merasa kagum. Kedewasaan dan rasa cukup tahu membuatnya terkadang lebih memilih diam, berbeda dengan Naren yang cenderung ingin lebih banyak tahu akan segala hal.
"Kenapa?" tanya Aiyna heran, saat Naren yang berjalan mengekor dibelakangnya tiba-tiba saja berhenti melangkah.
Pandangan anak itu terfokus kearah samping. Membuat Aiyna juga menatap kearah yang sama, dengan alis yang terangkat sebelah.
Apa hanya Naren saja merasa, bahwa ada sepasang mata yang sejak tadi diam-diam tengah mengawasi mereka?
__________________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...