Beberapa hari terakhir yang mereka habiskan, berlalu dengan sangat cepat. Hari ini tibalah waktu ketika Wildan akan diberangkatkan.
Karena pasukan yang dikirim dalam misi kali ini tidak sebanyak satuan tugas lainnya. Upacara pemberangkatan juga digelar lebih tertutup, hanya dihadiri oleh para Ibu Persit serta beberapa keluarga dari prajurit.
Setelah upacara selesai, Wildan segera berlari menghampiri istrinya, yang kini berdiri ditepi lapangan.
Senyuman Nadhira memang menjadi yang pertama kali menyapa, seperti biasa. Namun bukannya Wildan tidak tahu, bagaimana sulitnya wanita itu menahan tangisnya. Mata indah itu berair, bahkan sekali berkedip, dipastikan akan langsung tumpah.
Wildan memberikan sebuah buku kecil kearah Nadhira, dengan senyuman tipis, saat wanita itu memandangnya dengan ekspresi penuh tanya.
"Buku ini sudah menemani perjalanan saya, dimulai sejak pertama kali masuk kedalam madrasah," ucap Wildan.
Nadhira meraihnya kali ini dengan menundukkan wajah, menyembunyikan matanya yang sembab dengan pipi yang mulai memerah.
"Humaira..." Wildan memegang lembut kedua pundak milik istrinya, kemudian ia bawa dalam dekapannya, mengusap punggung bergetar itu pelan saat tangis milik wanita itu kembali terdengar, menyiksanya.
Melepaskan Wildan untuk pergi bertugas untuk pertama kalinya memang begitu berat bagi Nadhira. Terlebih kali ini tidak hanya sampai satu pekan, seperti ketika dulu ia pergi pelatihan.
"Tugas kali ini hanya akan sebentar," ujar Wildan mencoba menenangkan.
Nadhira juga sudah mendengar hal itu dari Abah, meskipun demikian tetap lebih beresiko.
Tidak akan terlalu lama, karena satuan yang dibentuk akan terbagi lagi menjadi beberapa pasukan yang lebih kecil dipimpin oleh seorang perwira kelas pertama, yang nantinya akan dikirim secara bergiliran. Sebuah misi yang akan dilakukan dengan cara estafet.
"Tolong jaga diri baik-baik ya, Mas?" Suara Nadhira serak.
Wildan mengangguk. "Maaf, jika nanti Mas akan sangat sulit menghubungimu. Jangan khawatir. Dalam situasi nanti, tidak ada kabar itu lebih baik."
Selain kendala sinyal, Wildan mungkin akan sangat disibukkan hingga hanya memiliki sedikit kesempatan untuk memberi kabar.
"Saya akan segera kembali, Humaira."
Nadhira kembali menunduk, terisak tangis, saat suaminya itu kembali mendekap tubuhnya erat.
Pelukan hangat yang mungkin setelah ini akan sangat Nadhira rindukan. Aroma tubuh khas yang menemaninya terlelap tiap malam.
Ia dengar Wildan masih terus berbisik tepat ditelinganya, dengan suara pelan, mencoba kembali menenangkan, saat tangisnya kini benar-benar sudah pecah, perasaannya tak karuan.
Mengingat setelah ini akan ada jarak yang membentang jauh diantara mereka, dan mungkin memerlukan waktu dan kesabaran untuk kembali berjumpa.
"Saya janji akan pulang ke rumah kita."
Sebuah kalimat yang Wildan ucapkan dengan begitu mudahnya, menjadi hal terakhir dari perpisahan mereka.
Kalimat yang mungkin nantinya akan selalu mengganjal dan menjadi beban amat berat yang ia bawa selama bertugas.
Sebuah janji.
Janji untuk pulang.
Serta rumah.
Senyuman itu masih terus terukir, sebelum perlahan memudar. Pria itu sudah berlari menjauh, dengan ransel berat dan senjata yang kini dipegangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Ficção AdolescenteNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...