✧When You Promise || 06✧

2.2K 144 1
                                    

"Assalamualaikum, bidadari surga."

Mendengar suara itu membuat perasaan Nadhira menjadi lebih tenang. Bibirnya seketika mengulum senyum.

"W-wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balasnya.

Hal yang hampir setiap saat Nadhira rindukan, suara menenangkan dari pria itu bagaikan candu, yang selalu terdengar nyaman sekaligus menyenangkan.

Tiap katanya seolah meninggalkan makna sekaligus kesan tersendiri bagi Nadhira. Sedikit puitis dan filosofis.

"Gimana kabarnya di sana?" Wildan kembali memulai pembicaraan.

"Baik."

Hanya satu kata, yang malah semakin menambah keyakinan Wildan di seberang telepon sana, jika sebenarnya wanitanya itu tidak sedang baik-baik saja.

"Bicaralah, wahai Humaira!"

Setiap kali Wildan berucap demikian, itu artinya ia meminta Nadhira agar bercerita dan mengungkapkan semua keluh kesah kepadanya tanpa sisa.

Saat itu juga Wildan akan menjadi sepasang telinga, yang akan setia mendengarkan ucapannya hingga akhir.

"Ira rindu." Wanita itu mengigit bibir bawahnya.

Berselang cukup lama, akhirnya kembali lagi dijawab. "Duh, jangannn!!"

"Kenapa?"

"Terlalu menyiksa, Ira. Sudah cukup saya saja yang menahannya."

Ck, gombal!

Bayangkan hati siapa yang tidak akan langsung meleleh dan menjadi berbunga-bunga?

Pipi Nadhira bahkan akan langsung terlihat merona, setelahnya sudah dipastikan ia akan sulit tertidur. Insomnia kronis! Tanpa sadar ikut ketularan bucin akut milik Pak Danton Wildan.

Meskipun terdengar sedikit tak jelas karena terkendala sinyal, namun Nadhira tahu jika diseberang telepon sana, pria itu harus rela berjuang mati-matian, nangkring di atas pohon hanya untuk mendapatkan satu bar sinyal.

"Manjat pohon lagi?" Selidik Nadhira, memastikan. Sejak tadi, ia mendengar suara jangkrik dan binatang malam yang lebih dominan.

"Kali ini manjat atap barak," balas pria itu enteng disertai dengan tawa pelan, namun segera di sahut.

"Bercanda!"

Nadhira menghela nafas lega. "Kenapa sih hobi banget bikin bercandaan?" tanyanya, sedikit kesal.

"Biarin, yang penting ganteng." Tawa puas kembali menggema disana.

Dasar! Selain jiwa bucin yang mulai ditahap akut, jiwa narsis pria itu memang sering sekali diluar nalar.

Nadhira kembali berdecak, ternyata benar apa kata Bunda, jika aslinya pria itu juga sedikit tengil.

Terkadang Nadhira juga kerap dibawanya seolah membumbung tinggi ke angkasa, dengan bermacam rayuan dan kata-kata manis miliknya. Jika tidak, minimal dengan panggilan sayang yang membuatnya spontan salah tingkah.

Bagi Wildan sendiri, bercanda memang menjadi salah satu media pengalihan suasana. Disaat semuanya terlalu sulit untuk dihadapi. Sejenak duduk dan tertawa, sudah bisa sedikit merilekskan pikiran dan beban kepala.

When You Promise (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang