Nadhira masih terus menangis, dengan ditenangkan oleh Asma yang terus mengusap punggung bergetar miliknya.
Sejak malam tadi tiba-tiba minta dijemput pulang, kemungkinan besar yang Galahan duga, sang putri tengah bertengkar hebat dengan suaminya. Dan memilih pergi dari rumahnya, karena sudah merasa tak tahan.
Jika hal itu benar-benar sampai terjadi.
Galahan pasti akan langsung menelepon Wildan dan meminta penjelasan.Namun sampai kini, tidak ada kalimat pengaduan yang keluar dari bibir putrinya, yang mungkin saja meminta tolong padanya karena mendapatkan perlakuan buruk dan kasar karena pertengkaran mereka.
Nadhira hanya memohon dan terus memelas padanya. Dan sekarang akhirnya membuat Galahan paham, apa maksud kedatangan sang putri sebenarnya.
Setelah beberapa hari yang lalu Wildan juga memberi tahunya kabar, jika ia benar-benar ditugaskan memimpin sebuah pasukan dalam misi untuk mengamankan sementara pulau terluar Indonesia, yang saat ini dalam kondisi siaga tempur, karena para pemberontak bersenjata.
"Semua itu diluar kendali Abah. Meskipun bisa, tidak adil namanya jika tiba-tiba Abah memberikan perintah atas nama seorang Ayah dan meminta orang lain saja yang menyelesaikan tugasnya."
Galahan masih mencoba memberikan pengertian selembut mungkin. "Ra, kamu tahu kan? Mau bagaimana pun Wildan itu adalah seorang prajurit yang kapanpun dan dimanapun harus selalu siap menerima perintah."
"Ira masih takut, Abah. Ira belum siap." Wanita itu masih terus menangis dengan menggeleng.
"Lihat Abah." Titah Galahan lembut, mau sekeras apapun ia berada diluar, ia tidak akan pernah memperlakukannya putri bungsunya secara kasar.
"Wildan juga merupakan salah satu prajurit terbaik yang pernah Abah kenal. Percaya sama Abah kan?" tanyanya.
Air mata Nadhira menetes, kemudian menunduk. "Abah juga pernah bilang begitu.... saat prajurit itu dulu akan pergi bertugas," jawabnya, lirih.
Galahan segera mendekap tubuh putrinya dengan erat, tidak tahu mengapa rasa sesal itu kembali ia rasakan.
Galahan sejak dulu amat menjaga putrinya, dan tak ingin ia terluka sedikitpun. Namun malah ia sendiri yang selalu menghadirkan luka baginya.
"Maafkan, Abah, nak."
•••
Galahan tahu kedatangan Wildan ke kediaman miliknya, menyusul Nadhira, yang padahal kemarin mengatakan hanya sebentar. Namun sampai sekarang, Nadhira belum juga pulang, membuatnya sedikit cemas.
"Nadhira masih perlu waktu sendiri untuk menenangkan dirinya, Wil." Galahan menyuruh menantunya itu untuk duduk.
"Maaf, Abah." Wildan masih setengah menunduk.
"Tidak, itu bukan kesalahanmu, nak," ucap Galahan. "Kamu fokus saja pada persiapan tugasmu, jangan pikirkan yang lain. Abah yakin Nadhira paham, namun ia memang masih butuh waktu berdamai dengan dirinya sendiri. Kamu tahu sendiri apa yang dulu pernah ia alami." Sambungnya.
Helaan nafas panjang milik Wildan mengudara. "Saya tidak bermaksud apa-apa, selain rasa takut dan tidak siap melihat Nadhira kembali mengingat luka lamanya. Dan semua itu bukanlah karena rasa kasihan yang Nadhira pikirkan."
Galahan seketika menahan senyum. "Sepertinya kamu benar-benar sudah mencintai Nadhira ya?"
Jangan bilang memang benar, jika mantan ajudannya ini dulu, sudah lama menyimpan rasa pada putrinya secara diam-diam.
Wildan kembali menunduk. "Karena putri Abah adalah jawaban dari doa, serta buah manis dari kesabaran yang Allah rencanakan," jawabnya.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis, menepuk pundak-nepuk itu. "Sepertinya Abah memang tidak salah memilihmu, Wil!"
Ia berpikir saat dulu meminta Wildan untuk menikahi putrinya, bahkan terkesan sebagai sebuah perintah, akan begitu sulit Wildan jalani, berada diatas keputusan yang amat sulit antara perasaan dan permintaan dari atasan yang harus dijalankan.
Namun semua itu rupanya tidaklah benar, setelah memantapkan pilihan dan mengikat putrinya dengan ikatan sah pernikahan. Pria ini memperlakukan putrinya dengan amat baik, perhatian, menjaganya layaknya seorang istri sungguhan.
Pernikahan mereka bahkan terlihat tidak sesulit itu untuk jalani, bahkan Galahan tak menyangka jika keduanya cepat sekali untuk dekat.
Galahan kira semuanya masih dijalankan dengan terpaksa bahkan pura-pura, namun ia mendengar kabar dari banyaknya para prajurit yang tinggal di asrama yang bahkan sering sekali bergosip tentang betapa harmonisnya hubungan mereka.
Bahkan saking tak percaya akan hal itu, Galahan pernah mengirim informan untuk menyelidiki mereka.
Makan siang spesial ditengah-tengah kesibukan? Wildan yang selalu menyempatkan diri menemui Nadhira dengan membawa sebuah bekal buatannya sendiri dan makan bersama ditaman rumah sakit.
Benar-benar sebuah piknik termanis, yang membuat Galahan bahkan senyum-senyum sendiri saat mendengarnya.
Siapa sangka Nadhira yang awalnya ia anggap akan menolak dengan keras, kebimbangan milik Wildan, perjodohan serta pernikahan dadakan, akan membuat hubungan keduanya bahkan layak masuk jajaran nominasi award pasangan muda paling manis dan romantis seantero Batalyon.
"Abah..." Panggil Wildan kembali.
"Ada apa, nak?" tanya Galahan.
Kali ini terdapat sorot mata berbeda yang terpancar dari wajah pria itu, yang dapat Galahan tangkap. "Saya menyadari jika saya memang tidak akan bisa selalu berada disisi Nadhira untuk selalu menjaganya."
Pria itu kemudian tersenyum tipis. "Terima kasih karena sudah memilih saya untuk bersanding dengan Nadhira. Saya bersyukur dapat melihatnya ketika terbang di pagi hari, serta mendengarkan setiap cerita serta tawa. Saya hanya berharap dapat menemaninya lebih lama." Pungkasnya.
Alis milik Galahan terangkat, mencoba mencerna. "Maksudmu?"
"......"
Namun kini, fokus pandangan keduanya seketika teralihkan dengan kehadiran Nadhira serta Asma yang berjalan mendekat ke arah mereka.
Wajah wanita yang lebih muda itu masih terlihat sembab, namun ia tampak lebih tenang dari sebelumnya. Terlihat masih ingin menunduk, sebelum duduk tepat berhadapan dengan Wildan di seberang meja.
"Sudah mendingan, nak?" tanya Galahan, memegang lembut pundak milik putri bungsunya itu.
Nadhira mengangguk pelan. "Iya, Abah."
"Wildan datang, ingin menjemput kamu pulang." Sambung Galahan.
Detik berikutnya wajah tirus itu kemudian terangkat, menatap Wildan yang masih bungkam dihadapannya. Dengan sedikit senyuman yang seolah kembali menyapa, membuat Wildan dapat menghela nafas lega.
_______________
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
JugendliteraturNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...