Setelah turun dari mobil ambulans, brankar itu mulai didorong dengan cepat menuju ke ruang gawat darurat.
Mata Naren masih setengah terbuka, melihat pria yang tadinya ikut membantu mendorong brankar miliknya kini berhenti dipertengahan lobi rumah sakit.
"Pasien diduga merupakan korban tabrak lari, terdapat pendarahan cukup serius dibagian kepalanya, pasien kehilangan banyak darah," ucap seorang perawat, pada seorang dokter yang baru saja memasuki ruang UGD dengan langkah tergesa-gesa.
"Naren?!"
Dokter yang tak lain adalah Kartika itu tampak sedikit tersentak, karena langsung mengenali seorang anak yang kini menjadi pasiennya. Kemudian berjalan lebih cepat, menghampiri ranjang yang ditempati oleh anak itu.
"Segera hubungi dokter Nadhira, dan katakan jika putranya berada dirumah sakit karena mengalami kecelakaan!" Titahnya, setelah dengan cekatan memeriksa keadaan anak itu.
"Baik, dokter." Satu perawat segera keluar dari ruangan, menyanggupi ucapan sang dokter barusan.
"Naren, masih bisa dengar suara Tante Tika?" tanya Kartika cemas, melihat anak itu masih berada di kondisi setengah sadar.
Terlebih saat bibirnya masih belum berhenti meracau, saat sudah hampir sepenuhnya kehilangan kesadaran.
"P-papa..."
"Hm?" Kartika mengernyitkan alis.
"Tadi ada seorang pria yang juga ikut datang bersama pasien. Sepertinya orang itu cukup dikenalnya, karena tidak berhenti bergumam seperti mencoba memanggil-manggil namanya." Terang perawat yang lain, membuat sang dokter kembali menatapnya.
•••
"Apa yang terjadi, Tik?" tanya Nadhira menghampiri Kartika yang barusan keluar dari ruang rawat tempat putranya
"Ira, tolong tenangkan dulu dirimu." Kartika mencoba menenangkan sahabatnya itu.
Tanpa memikirkan apapun Nadhira langsung datang kerumah sakit, dengan kondisi yang tampak sedikit kacau. Pun sama dengan Aiyna yang belum berhenti menangis, saat ini duduk dikursi tunggu kembali ditenangkan oleh Pak Galih, karena terus-terusan menyalahkan dirinya.
"Tolong, katakan bagiamana keadaan putra kecilku?" tanya Nadhira masih dengan setengah parau.
Kartika menghela nafas. "Kita masih menunggu hasil CT Scan, diagnosa sementara dia mengalami cedera yang cukup serius dikepala, berdoa saja hasilnya tidak akan separah itu."
Air mata Nadhira kembali menetes, menggeleng dengan terisak cukup keras, saat tubuhnya kini dipeluk oleh Kartika yang juga mengusap punggungnya lembut.
"Ini semua karena aku, Tik. Coba aja kalau kemarin aku ga bersikap berlebihan, dan buat Naren jadi kayak sekarang," ucapnya parau.
"Istighfar, ini juga musibah, Ira. Percaya, Naren kita kuat," balas Kartika, lalu melepaskan pelukan mereka.
"Boleh aku jenguk dia sekarang?" tanya Nadhira, serak.
Kartika mengangguk pelan. "Iya, tapi tolong berhati-hati, karena keadaannya masih sangat lemah."
Klek!
Nadhira membuka pintu ruang rawat yang menampilkan sosok bertubuh mungil tengah menempati ranjangnya.
Banyaknya alat medis, selang infus, nasal kanul yang terpasang manis dibawah hidung mungilnya, serta suara elektrokardiogram terus mendeteksi kinerja jantung yang tampaknya tidak terlalu stabil.
Nadhira begitu paham bagaimana kondisi anaknya saat ini, tentu saja karena ia sudah amat lumrah dengan semua diagnosa medis, serta banyaknya pasien yang selama ini juga sudah ia tangani.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
JugendliteraturNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...