Desember 2021
Bismillahirrahmanirrahim.
Demi dzat yang Maha pembolak-balik hati, menjadikan siang dan malam silih berganti. Menjadi saksi dari setiap doa-doa yang saya langitkan, di waktu sepertiga terakhir malam.
Kamu, menjadi salah satu alasan dari ungkapan rasa syukur yang selalu saya panjatkan. Perasaan cinta dan hadirnya dirimu yang seperti sebuah hadiah terindah, pemberian dari Allah ta'ala.
Wahai Humaira. Kamu adalah doa. Takdir terbaik yang saya minta saat pertama kali menginjakkan kaki di Jabal Rahmah.
Kamu layaknya kolam air di tengah gersangnya padang pasir, menjadi penawar rasa dahaga, setelah perjalanan yang harus saya tempuh selama bertahun-tahun lamanya.
Kamu adalah petualangan yang panjang, menjadi akhir dari sebuah aliran sungai yang sebelumnya tak bermuara.
Kamu layaknya kompas, sebagai penunjuk arah.
Seperti cahaya lilin yang tak akan pernah padam.
Selimut yang memberikan kehangatan disaat tubuh saya menggigil kedinginan.
Aroma wangi yang selalu meninggalkan jejak khas di setiap sudut ruangan.
Kamu layaknya sebuah telaga berwarna biru dengan kejernihan airnya, menjadi salah satu kepingan surga yang Allah perlihatkan di dunia.
Wahai Humaira. Kamu adalah lembaran kenangan berharga, yang tertulis didalam buku perjalanan hidup saya, menjadi bagian dari titik plot terindahnya.
Kamu adalah jatuh cinta saya untuk kesekian kalinya.
Izinkan saya untuk terus mencintaimu dengan cara yang mulia.
Tis!
Setetes liquid bening itu kembali jatuh membasahi selembar kertas yang saat ini wanita itu pegang. Surat yang sudah ia baca berulang-ulang, bahkan saking seringnya sudah tampak mulai usang.
Zaujatiku, Humaira. Kamu memang bukan sekadar tempat bersinggah, namun juga bukanlah tempat untuk menetap selamanya. Sejatinya, bukanlah kamu tempat pulang saya yang sesungguhnya.
Saat tiba waktunya, bukan lagi negara yang menjadi alasan utama kita untuk berpisah. Hal yang terpenting bagi saya adalah ketika kamu selalu tersenyum indah, seperti pesona senja terakhir yang kita lihat dibibir pantai kala itu, sayang.
Kamu tampak begitu bahagia, dan itulah yang selalu saya inginkan. Entah itu ada atau tidak adanya saya di sisimu... saya rela.
Your Lieutenant,
Wildan Ardana Pangestu
Wajah tirus itu menunduk sesaat, membiarkan bulir-bulir air mata semakin berjatuhan, membasahi pipi mulusnya.
Kata-kata terindah yang dulu pernah ia harapkan untuk didengar adalah bagaimana pria itu memanggilnya lembut, dengan senyuman yang terpatri di wajahnya, kemudian berkata, 'Saya berhasil, wahai Humaira.'
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...