"Kamu ini aneh, Wildan!"
Pundak pria dengan pangkat dua balok emas itu ditepuk-tepuk oleh rekannya yang kini geleng-geleng kepala.
"Disaat pengantin baru lain tergesa-gesa ingin pulang setelah dinas selesai, kamu malah ingin berlama-lama seolah mengundur waktu tidak ingin bertemu dengan istrimu." Terangnya.
Wajah Wildan seketika masam, ternyata rahasianya selama ini sudah mulai diketahui oleh orang lain.
"Ya ya, saya tahu jika pernikahan kalian memang hasil perjodohan. Tapi bukannya dalam Islam bucin itu memang mahal, karena hanya bisa didapat setelah halal?"
Rekannya bernama Satria itu menghela nafas, ia juga tahu jika tak mudah menjalani hubungan oleh orang yang bahkan belum terlalu lama dikenal. Lalu kemudian berbisik, "Saya mendengar jika putri dari Komandan itu sangat cantik, dokter muda pula, sayang sekali saat dulu kalian menikah saya tidak bisa ikut menghadiri karena bertugas. Saya jadi tidak sabar ingin bertemu dengan Nyonya Wildan Ardana." Sambungnya.
"Jangan pernah sekalipun berani membayangkan wajah istri saya!" Wildan seketika mendelik, memperingatkan secara garis keras.
Satria terkekeh. "Hey! Saya juga sudah punya satu bidadari dirumah," ujarnya tak mau kalah.
Tentu saja, bagi Satria sosok istri sekaligus Ibu dari anak-anaknya itu adalah gambaran salah satu bidadari surga yang sudah Allah perlihatkan didunia.
"Masya Allah, jika bukan karena panggilan tugas yang selalu memaksa kami untuk berpisah, saya pastikan akan duduk berlama-lama tepat dihadapan Aisyah untuk memandangi paras indahnya." Lanjutnya, mengulum senyum.
Humaira saya juga tidak kalah cantik, batin Wildan, merasa ingin sekali berbangga.
"Sudah, saya duluan." Putus Wildan, bangkit dari duduknya.
"Mau kemana?"
"Pulang!"
Pria itu lalu berjalan menjauh dari Satria yang masih belum puas memandangi langit malam penuh taburan bintang, menurutnya sama indahnya seperti istrinya, Aisyah, yang juga merupakan sahabat dari Nadhira.
•••
Cklek!
Saat membuka pintu, Wildan sengaja sangat berhati-hati agar tak menimbulkan suara, membangunkan Nadhira yang mungkin saat sudah tertidur dan berjalan dengan sangat pelan.
"Baru pulang, Mas?"
Wildan terkesiap.
Wanita itu dengan wajah bantal segera terbangun, setelah tadi tertidur dengan posisi duduk melipat kedua tangan diatas meja ruang tengah, serta banyaknya buku dan berkas yang tergeletak begitu saja.
"Mas mau minum apa?" tanyanya masih bersuara serak, menghampiri Wildan yang masih menegang.
Selalu pertanyaan itu.
Wildan kira sekali-kali Nadhira akan berucap dengan nada kesal, membentaknya, dengan deretan pertanyaan seperti, dirinya darimana saja? Mengapa sering sekali pergi pagi buta, lalu kembali saat hari hampir larut malam? Serta raut masam karena keduanya jarang sekali bertemu.
Wanita itu tampak selalu menyenangkan, bukan hanya wajahnya namun juga tutur kata lembutnya. Serta sebuah senyuman yang membuat jantung Wildan berdetak kencang, tak karuan. Ia bahkan tak kuat untuk menatapnya lebih lama, merasakan sensasi panas dipipinya, serta sesaat membuatnya sulit berpikir jernih.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Promise (End)
Teen FictionNadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal yang selalu mengganjal dibenak Nadhira, ia tidak menanyakan lebih jauh, dimana letak rumah pulang s...